REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Masyarakat Sumatra Barat kembali 'disapa' gempa bumi dalam sepekan belakangan. Paling tidak, ada 3 gempa bumi dengan besaran magnitudo dari 4 Skala Richter (SR) hingga 5,5 SR yang dirasakan cukup kuat.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Padang Panjang mencatat, gempa bumi pertama yang dirasakan terjadi pada Selasa (17/7) pukul 07.02 WIB. Gempa dengan magnitudo 4 SR ini berpusat di 8 kilometer (km) sebelah utara Kota Bukittinggi dengan kedalaman titik gempa hanya 7 km.
Gempa bumi yang dirasakan kuat berikutnya terjadi pada Sabtu (21/7) dini hari, pukul 02.58 WIB. Gempa dengan mangnitudo 5,2 SR tersebut memiliki episenter pada jarak 44 km timur laut Kepulauan Mentawai dengan kedalaman 23 km. Warga Padang pun merasakan getara gempa ini cukup kuat.
Gempa kuat ketiga dirasakan warga pada Sabtu (21/7) sore, pukul 14.58 WIB. Gempa dengan magnitudo 5,4 SR ini berpusat pada jarak 15 km barat daya Kota Solok dengan kedalaman 14 km. Selain merusak 23 rumah warga, gempa ini dirasakan kuat di Kota Padang dan sempat membuat masyarakat berhamburan ke luar bangunan.
Ketiga gempa tersebut terjadi dengan rentang waktu dekat. Lantas apakah ketiganya berhubungan dan saling berkaitan?
Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG Padang Panjang, Sumatra Barat, Ma'muri, menjelaskan bahwa ketiga gempa di Sumbar dalam sepekan belakangan tidak berkaitan satu sama lain. Ketiganya terjadi dengan mekanisme yang berbeda.
"Dilihat dari lokasinya ketiganya merupakan gempa yang berbeda. Penyebabnya juga berbeda, tidak ada keterkaitan langsung," jelas Ma'muri, Ahad (22/7).
Ia menjelaskan, pada prinsipnya seringnya gempa bumi melanda Sumbar lebih disebabkan oleh 3 faktor. Pertama, yakni Zona Subduksi yaitu pertemuan dua lempeng tektonik besar: Lempeng Samudra Hindia menunjam ke bawah Lempeng Benua Eurasia. Kedua, adanya Sesar Mentawai yang merupakan sesar mendatar akibat proses penunjaman miring di sekitar Kepulauan Mentawai.
Ketiga, adanya Sesar Sumatra yang terjadi akibat adanya lempeng Indo-Australia yang menabrak bagian barat pulau Sumatra secara miring, sehingga menghasilkan tekanan dari pergerakan ini. Akibat adanya tekanan ini, lanjut Ma'muri, maka terbentuklah sesar Sumatra yang membentang mulai dari Aceh sampai Lampung.
Bila dirinci, gempa pertama pada Selasa (17/7) lalu dengan kedalaman hiposenter yang dangkal ini mencirikan sebagai aktivitas Sesar Sumatra, khususnya segmen Sianok. Segmen Sianok memanjang dari sisi timur danau Singkarak melewati sisi Barat Daya Gunung Marapi hingga Ngarai Sianok, dengan panjang 90 km.
Sementara gempa pada Sabtu (21/7) dini hari termasuk gempa dangkal akibat aktivitas subduksi Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Eurasia. Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempa bumi ini dipicu oleh penyesaran naik (thrust fault).
Gempa bumi terakhir yang menimbulkan seorang korban jiwa di Solok, termasuk jenis gempa bumi tektonik kerak dangkal (shallow crustal earthquake) yang terjadi akibat aktivitas Sesar Sumatra (Sumatera Fault Zone) pada segmen Sumani. Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempabumi ini dibangkitkan oleh deformasi batuan dengan mekanisme pergerakan jenis sesar geser mendatar (Strike Slip).
Kesimpulannya, Sumatra Barat memang memiliki potensi kegempaan yang besar. Besarnya potensi kebencanaan yang terjadi memaksa warga Sumbar untuk memahami prinsip mitigasi bencana, termasuk gempa.