REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Kementerian Luar Negeri Malaysia mengutuk adopsi istilah "negara bangsa Yahudi" dalam Undang-Undang Tanah Yahudi yang disahkan oleh Parlemen Israel pada 19 Juli 2018. Pernyataan Kemenlu Malaysia tersebut disampaikan kepada media nasional dan internasional di Kuala Lumpur, Senin (23/7).
Undang-undang itu menganggap tanah Israel sebagai tanah air historis orang-orang Yahudi dan hak untuk melaksanakan penentuan nasib sendiri nasional di negara Israel adalah unik untuk orang-orang Yahudi. Undang-undang itu juga menyatakan bahasa Ibrani sebagai bahasa resmi dan menurunkan peringkat bahasa Arab hanya menjadi status khusus.
Negara Israel memandang perkembangan permukiman Yahudi sebagai nilai nasional dan akan bertindak mendorong dan mempromosikan pembentukan dan konsolidasi. Malaysia mendesak komunitas internasional mengambil tindakan segera untuk menyerukan kepada Israel agar mencabut undang-undang dan kebijakan rasial dan opresif ini.
Langkah Israel hanya akan mempersulit dan merusak upaya perdamaian untuk mencapai penyelesaian yang adil dan komprehensif terhadap konflik Palestina. Malaysia tetap teguh dalam dukungannya kepada hak-hak sah rakyat Palestina untuk Negara Palestina yang merdeka dengan realisasi solusi dua negara berdasarkan perbatasan sebelum 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina.
Sebelumnya, partai oposisi United Malay National Organization (UMNO) juga menyatakan satu pendirian dengan negara-negara lain dalam mengecam sekeras-kerasnya keputusan Parlemen Israel mengesahkan rancangan undang-undang Tanah Yahudi.
"Undang-Undang tersebut mengesampingkan sama sekali hak rakyat Palestina atas wilayah nenek moyang mereka," ujar Presiden UMNO, Datuk Ahmad Zahid Hamidi.
UMNO meminta seluruh rakyat Malaysia yang mencintai keamanan mengutuk perbuatan tidak pada tempatnya tersebut serta mendesak Amerika Serikat, Eropa dan Organisasi Kerja Sama Islam, PBB dan badan-badan dunia untuk mendesak Tel Aviv mengkaji semula rancangan undang-undang itu dan menghormati pandangan masyarakat internasional.
"Anggota-anggota parlemen oposisi juga bersama-sama mendesak Wisma Putra (Kemenlu Malaysia) agar meneruskan dasar Pemerintah Malaysia yang menentang segala bentuk tindakan yang menafikan hak asasi rakyat Palestina untuk terus menuntut hak sah sebagai negara yang berdaulat dan menegakkan pemerintahan sendiri serta menolak tindakan yang melanggar hak asasi manusia," katanya.