REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M) Sumatra Barat mendesak pemerintah lebih perhatian terhadap upaya penghapusan pernikahan dini. Koordinator Program Advokasi Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi LP2M Sri Ambarwati menyebutkan, terjadi peningkatan tren pernikahan di bawah umur di Sumatra Barat.
Catatan LP2M, mengacu data BKKBN, sepanjang 2010 hingga 2015 terjadi pernikahan usia anak-anak (di bawah 18 tahun) sebanyak 6.083 pasangan. Sementara menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2016 terdapat 10,22 persen pasangan menikah di usia anak yang disurvei dari 10.200 rumah tangga secara acak.
"Jadi hasil penelitian itu, 1 dari 4 anak menikah di bawah usia 18 tahun.
1 dari 10 remaja usia 15-19 tahun itu telah melahirkan atau sedang hamil pertama," ujar Sri dalam keterangan resminya, Senin (23/7).
Ia menyebutkan, berdasarkan penelitian LP2M disimpulkan bahwa pernikahan usia anak menjadi salah satu penyebab utama terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak. Menurutnya, ada tiga tujuan kampanye yang dilakukan yakni stop pernikahan usia anak, pentingnya pendidikan seksual (kesehatan tubuh dan reproduksi) bagi anak, dan dorongan untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak.
"Kami mendorong negara dan masyarakat hentikan tiga itu, sehingga hak anak terpenuhi seperti hak pendidikan, partisipasi ruang publik, dan hidup nyaman," ujarnya.
LP2M juga menyebutkan, pernikahan usia anak berimplikasi secara sosial. Artinya, hak mendapatkan pendidikan sudah putus, kesempatan bekerja atau mengembangkan diri juga terbatas. Ujungnya, risiko kemiskinan semakin mengancam. Dari segi kesehatan pun, lanjutnya, pernikahan dini berkontribusi terhadap tingginya angka kematian ibu dan bayi karena alat reproduksi yang belum kuat.
Tak hanya sebatas itu, pernikahan usia anak juga dipandang rentan terhadap perceraian. Kondisi ini membuat pasangan yang menikah di usia dini cenderung kurang bisa mengembangkan dirinya, termasuk enggan ikut dalam kegiatan sosial.
"Ekonomi rumah tangga cenderung tidak mapan,” ujarnya.
Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP dan PA) Provinsi Sumbar, Quartita Evari Hamdiana, menjelaskan bahwa pihaknya terus menggencarkan advokasi kesehatan reproduksi remaja. Apalagi, lanjutnya, 116 negara sudah bersepakat untuk menghapus angka pernikahan usia anak. Di dunia pun, kata dia, terdapat 700 juta perempuan yang menikah di usia anak-anak.
"Indonesia penyumbang terbesar," katanya.
Menurutnya, persoalan batasan usia menikah memang masih menjadi dilema di Indonesia. Alasannya, Undang-Undang (UU) nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pun menyebutkan bahwa batas usia pernikahan adalah 16 tahun.
"Menurut kami ini perlu disuarakan. Karena berdasarkan kesehatan dan kematangan biologis," katanya.