REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terorisme merupakan suatu kejahatan lintas negara. Hal ini dikarena kejahatan ini tidak ditujukan oleh orang-orang di suatu negara terhadap negara tersebut, tetapi pelakunya bisa saja orang-orang dari negara tertentu tetapi dia menargetkan aset-aset, gedung, objek vital, dan bahkan orang-orang dari negara lain di negara tersebut.
Misalnya ada sebuah negara yang kondisinya sedang porak poranda, kemudian ada pelaku teror dari berbagai negara yang ingin mengubah negara tersebut baik itu pemerintahannya maupun ideologinya seperti yang terjadi di Irak dan Suriah oleh jaringan kelompok ISIS. Maka hal tersebut sudah merupakan aksi terorisme yang dikategorikan sebagai kegiatan kejahatan lintas negara.
Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia (UI), Prof Hikmahanto Juwana mengungkapkan jika bicara mengenai kejahatan terorisme dari segi lintas negara, tentunya tidak hanya dari pelakunya saja yang melakukan, tetapi juga pendanaan dari tindakan terorisme ini. Dan untuk mengatasi masalah terorisme yang telah dikategorikan sebagai bentuk kejahatan lintas negara, tentunya dibutuhkan sinergitas antar bangsa dalam upaya menanggulangi terorime itu sendiri.
“Jadi pendanaan ini bisa saja berasal dari orang tertentu atau organisasi tertentu dari suatu negara, tetapi untuk diberikan kepada warga dari lain negara untuk melakukan suatu tindaakan terorisme, tapi kadang aksinya bukan di negaranya sendiri, tapi negara lain. Dikatakan transnasional karena berbagai hal itu berkaitan lebih dari satu negara. Untuk itu sinergitas antar bangsa dalam upaya menanggulangi terorisme itu sangat penting,” ujar Prof Hikmahanto Juwana, di Jakarta, Kamis (12/7).
Oleh karena menurut Hikmahanto, perlu ada semacam upaya bersama dari negara-negara lain dan juga masyarakat internasional untuk memerangi terorisme. Dirinya menyebut ada tiga hal dalam upaya mensinergikan antar negara dalam menanggulangi terorisme. Upaya pertama yakni yang telah dilakukan musyawarah dari negara negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan membuat resolusi.
“Resolusi PBB ini ada yang berupa resolusi Dewan Keamanan PBB maupun resolusi Majelis Umum PBB. Di dalam sejumlah resolusi ini disebutkan bahwa negara-negara punya kewajiban untuk memerangi terorisme. Yang mana mereka akan bekerja sama baik mulai dari aparaturnya, aparatur penegak hukum maupun intelijennya untuk bisa melakukan suatu tindakan terhadap para pelaku teror,” ujar peraih gelar Doktor dari University of Nottingham, Inggris ini.
Di samping itu juga menurutnya PBB telah mendorong negara-negara untuk mempunyai aturan-aturan di dalam negeri yang bisa mengkriminalkan orang-orang yang melakukan tindakan-tindakan teror. “Biasanya melalui pendanaan antar negara lalu kemudian untuk para pejuang teror dari suatu negara ke negara lain dan seterusnya,” ucapnya.
Upaya kedua menurutnya adalah dimana antar negara untuk melakukan kerjasama. Misalnya Indonesia bekerjasama dengan Australia atau dengan Amerika Serikat untuk membangun kapasitas dari para individunya untuk melawan para pelaku teror.
“Ini yang sering dilakukan Indonesia dimana kita juga saling tukar informasi, mendapatkan informasi dan lain-lain. Misalnya para pelaku teror yang ada di perairan perairan tertentu kita harus juga bekerja sama seperti Indonesia dengan otoritas di Filipina,” ujarnya.
Lalu upaya ketiga menurut peraih gelae Master dari Keio University, Jepang ini adalah masyarakat internasional yang bukan dari naungan PBB dapat juga secara rutin mengadakan pertemuan-pertemuan untuk saling bertukar informasi dan kerja sama lainnya untuk memerangi terorisme
“Cara ini merupakan hubungan antar negara secara multilateral dengan melakukan berbagai upaya-upaya. Terutama sekali negara-negara yang terpapar oleh para pelaku teror dari berbagai negara. Nah ini perlu dilakukan upaya bersama untuk memerangi teror itu,” ujar peraih British Achieving Award dari Pemerintah Inggris ini.