REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo meminta para kepala daerah memberikan kemudahan sebesar besarnya kepada investor yang akan masuk ke daerah terutama yang berorientasi ekspor dan substitusi impor. Ini dperlukan untuk mengatasi defisit transaksi berjalan.
"Neraca transaksi berjalan dan neraca perdagangan kita masih dedisit, problemnya ada di investasi," kata Presiden Jokowi di Jakarta, Kamis (26/7).
Kepala Negara mengungkapkan hal itu ketika membuka Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi Tahun 2018. Rapat bertema "Mempercepat Pembangunan Infrastruktur untuk Mewujudkan Stabilitas Harga dan Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif serta Berkualitas."
Hadir dalam kesempatan tersebut sejumlah Menteri Kabinet Kerja, pimpinan Lembaga Negara, pimpinan Bank Indonesia dan sejumlah kepala daerah. Menteri yang hadir antara lain Menko Perekonomian Darmin Nasution selaku Ketua Tim Pengendali Inflasi Pusat, Menko Kemaritiman Luhut B Panjaitan, Mendagri Tjahjo Kumolo.
Baca juga, Menkeu: Setiap Melemah Rp 100, Dapat Tambahan Rp 1,7 Triliun.
Kepala Negara meminta kepada kepala daerah tidak perlu melakukan pembicaraan berpanjang lebar jika menyangkut investasi berorientasi ekspor dan substitusi impor. "Jangan ditanya macam macam sehingga batal investasi di daerah bapak ibu, kalau bisa waktu itu juga dibangun," katanya.
Menurut Jokowi, kalau Indonesia sudah surplus neraca transaksi berjalan dan neraca perdagangannya, maka kalau ada gejolak global, Indonesia tidak akan terdampak. Indonesia bisa santai sambil kipas-kipas. "Kalau surplus dan tiba-tiba ada gejolak, kita bisa kipas kipas. Makanya investasi berorientasi ekspor dan subtitusi impor harus dibuka lebar lebar," katanya.
Presiden menyebutkan problem besar yang dihadapi Indonesia saat ini adalah ketidakpastian global. Saat ini perekonomian dunia sedang dalam posisi transisi menuju kondisi normal baru. "Persiapan dan antisipasi harus betul betul dilakukan untuk merespons setiap perubahan," kata Presiden Jokowi.
Ekonom senior dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono menilai melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak hanya disebabkan oleh rencana kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral AS The Fed. Rupiah cenderung lebih besar tekanannya dibandingkan emerging market lain karena tekanannya tidak hanya satu.
"Suku bunga AS, tapi juga harga minyak dan juga trade war," ujar Tony di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (24/7).
Neraca perdagangan RI terseok di awal tahun
Menurut Tony, kenaikan harga minyak yang mencapai 77 dolar AS per barel mengganggu kredibilitas fiskal Indonesia. Sebagai negara pengimpor minyak, lanjutnya, kenaikan harga minyak yang signifikan dapat mengganggu kondisi fiskal APBN. "Kenaikan harga minyak bikin repot pemerintah. Tahun ini minyak juga buat tekanan yang besar terhadap rupiah," kata Tony.
Baca juga, Rupiah Selasa Pagi Melemah ke Posisi Rp 14.546 Per Dolar AS.
Sementara itu, perang dagang antara AS dan Cina serta sejumlah negara lain, disebut akan menekan neraca perdagangan Indonesia. Dampaknya negatif dan akan memberikan tekanan terhadap rupiah.
Tony menuturkan, struktur ekspor Indonesia masih belum terlalu terdiversifikasi dan masih cenderung pada ekspor sumber daya alam mentah. "Pak Jokowi masih punya PR bagaimana supaya rupiah lebih rendah volatilitasnya. Bagaimana inflow short-term jadi long-term," kata Tony.
Terkait dengan pernyataan Trump yang tidak senang dengan kenaikan suku bunga AS sendiri, Tony pun menyatakan hal tersebut logis. Menurutnya, apabila dolar AS menguat, posisi perdagangan AS terhadap seluruh dunia termasuk Cina, akan semakin sulit. "Kita dukung Trump, kenaikan suku bunga AS yang terlalu cepat akan merepotkan Rupiah," kata Tony.
Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antar bank di Jakarta pada Selasa pagi sendiri bergerak melemah 64 poin menjadi Rp14.546 dibanding posisi sebelumnya Rp14.482 per dolar AS.