REPUBLIKA.CO.ID, BADUNG -- Direktur Japan External Trade Organization (Jetro), Takenobu Yamashiro, mengatakan, perusahaan Jepang menghadapi tiga permasalahan besar di Indonesia terkait investasi. Masalah tersebut, yakni upah buruh, prosedur impor, dan pajak.
Survei di Jepang menunjukkan, Indonesia pada 2013 pernah menjadi negara peringkat pertama paling potensial untuk berinvestasi, tetapi pada 2017 turun ke peringkat lima. "Kompetitor Indonesia dalam hal ini adalah Cina, India, Vietnam, dan Thailand," kata Takenobu dalam Forum Bisnis dan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Himpunan Kawasan Industri (HKI) Indonesia XIX di The Stone Hotel Legian, Kuta, Bali, Kamis (26/7).
Permasalahan pertama yang dihadapi Jepang di Indonesia adalah kenaikan upah buruh. Takenobu mengatakan, rasio kenaikan upah buruh di Indonesia sampai 2016 tertinggi kedua setelah India. Ini karena Indonesia terlalu cepat menaikkan upah buruh.
Baca juga, Jokowi: Neraca Defisit, Problemnya di Investasi.
Tingkat produktivitas buruh di Thailand lebih tinggi di Indonesia. Namun, kata Takenobu, rasio upah buruh di Indonesia dengan Thailand hampir sama. "Produktivitas satu orang di Thailand lebih tinggi dari Indonesia, tapi upah buruhnya hampir sama," ujar Takenobu.
Survei Jetro menunjukkan rata-rata prosedur impor, khususnya impor bahan baku di Indonesia, selesai dalam 9,9 hari. Ini terbilang masih lama sehingga mempersulit manajemen operasional.
Sistem pajak di Indonesia, khususnya Pajak Penghasilan (PPh) 22 yang dikenakan kepada badan usaha pemerintah dan swasta dalam kegiatan perdagangan ekspor, impor, dan re-impor, serta PPh 25 tentang pembayaran pajak secara angsuran secara tahunan.
Takenobu mengatakan, setiap perusahaan harus membayar 2,6 persen dari nilai impornya dan ini cukup memberatkan perusahaan dan akhirnya mengurangi kesempatan untuk investasi.
Staf Khusus Menko Perekonomian, Edy Putra Irawady, mengatakan, rasionalisasi kebijakan perlu dilakukan dengan fokus pada orientasi industri.
Caranya, antara lain, meningkatkan daya saing industri, percepatan pengadaan bahan baku, revaluasi aset, insentif fiskal, terutama untuk transportasi dan meningkatkan daya saing logistik. "Lakukan simplifikasi dan kepastian usaha," katanya dalam kesempatan sama.
HKI berupaya mengembalikan Jepang menjadi investor top di Tanah Air. Ketua Umum HKI Sani Iskandar mengatakan, Jepang dalam waktu lama menjadi investor terbaik di Indonesia, tetapi sekarang semakin tersaingi dengan negara lain, seperti Cina, Hong Kong, dan Korea Selatan. "Kita berusaha kembali mendorong investasi Jepang lebih banyak masuk ke Indonesia," ujar Sani.
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan, investasi Jepang di Indonesia dalam bentuk penanaman modal asing (PMA) 2017 mencapai 4,9 miliar dolar AS atau Rp 66,15 triliun. Jumlah tersebut berasal dari 3.646 proyek.
Sani mengatakan, HKI mencoba membantu pemerintah dalam rangka meningkatkan daya saing yang berhubungan dengan banyak hal, khususnya reformasi birokrasi perizinan. Hal ini didorong Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24/ 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik.