REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wasekjen Partai Demokrat Rachland Nashidik menyebut, taktik politik yang diterapkan oleh bakal capres pejawat Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua Umum PDIP dinilai curang. Karena, hingga hari ini, koalisi Jokowi belum mau mengumumkan siapa cawapres pilihan mereka. Bahkan, rencananya cawapres baru akan diumumkan pada menit terakhir pendaftaran.
"Taktik politik demikian merusak demokrasi. Karena, publik tidak diberi kesempatan lapang untuk menilai kepantasan figur cawapres. Ini juga taktik yang datang dari kesombongan karena menyuruh parpol lain membebek saja mengikuti kehendak atau titah Jokowi dan Megawati," kata Rachland kepada Republika.co.id, Kamis (26/5).
Rachland menegaskan, Partai Demokrat menolak taktik politik semacam itu. Menurutnya, Partai Demokrat ingin bangunan koalisi yang dibangun bersifat sejajar yang berdasarkan sikap saling menghormati.
"Kami mau pendapat dan suara kami juga didengar dan jadi bahan pertimbangan. Sebaliknya, kami juga bersedia mengubah posisi apabila diyakinkan," ujarnya.
Baca juga: Membedah Sikap Politik PA 212
Ia berpendapat, apabila nantinya Jokowi menghendaki Partai Demokrat bergabung, dia perlu memberi tahu siapa cawapres yang dipilihnya. Hal itu, menurut Rachland, dirasakan penting agar Partai Demokrat bisa ikut menilai dan menakar kepantasan cawapres tersebut.
"Misalnya, apakah figur itu mampu mengisi kekurangan-kekurangan Jokowi dalam bidang pengelolaan ekonomi dan kesejahteraan rakyat? Atau, kapabilitas dalam bidang-bidang lain yang membuat figur itu pantas," katanya.
Sebelumnya, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengungkapkan bahwa dia sempat intens berkomunikasi dengan Jokowi. Bahkan, SBY mengungkapkan, Jokowi sempat menawarkan jabatan menteri apabila Partai Demokrat bergabung dengan koalisi pendukung Jokowi, tetapi SBY mengangap hal itu wajar.
Baca juga: SBY Setuju Prabowo Capres? Hinca: Gerbang Terbuka Lebar
Sedangkan untuk posisi cawapres, SBY mengaku, Jokowi tidak pernah menawarkan posisi tersebut kepada Partai Demokrat. "Saya garis bawahi. Beliau tidak pernah menawarkan posisi capres dan saya tidak pernah menawarkan AHY sebagai cawapres. Ini biar baik, baik untuk Pak Jokowi baik untuk saya," katanya.
Sementara, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, SBY hanya fokus pada masa depan anaknya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Alasan itulah yang menurutnya lebih tepat mengapa Demokrat tidak bisa berkoalisi dengan PDIP.
"Gagal tidaknya koalisi Pak SBY dan Partai Demokrat lebih karena kalkulasi yang rumit yang dilakukan Pak SBY yang hanya fokus dengan masa depan Mas AHY,“ ungkap Hasto, kamis (26/7).
Baca juga: SBY: Saya tak Harus Izin Jokowi, SBY Bukan Bawahan Jokowi
Sebagai seorang pemimpin partai, Hasto menyarankan agar SBY lebih bijaksana serta tidak lagi menjadi seorang pemimpin partai yang penuh dengan keraguan-raguan. Tidak ketinggalan juga, Hasto menyarankan agar SBY bisa mendorong kepemimpinan AHY secara alamiah saja.
Kendati demikian, Hasto tidak menyalahkan dan memaklumi cara SBY mendorong AHY dalam Pilpres 2019 ini. Seorang ayah, kata dia, tentu secara alamiah ingin yang terbaik bagi anaknya.
"Sebagai seorang bapak tentu mengharapkan yang terbaik bagi anaknya, Mas AHY, sehingga seluruh pergerakan politik Pak SBY adalah untuk anaknya," kata Hasto.
Berbeda dengan Megawati, Hasto menambahkan, Megawati selalu bicara untuk PDIP, untuk Jokowi, untuk rakyat, untuk bangsa, dan untuk negara.
Baca juga: Para Penyeberang ke Kubu Jokowi