Kamis 26 Jul 2018 16:23 WIB

Overregulasi, Indonesia Susah Hadapi Revolusi Industri 4.0

Indonesia tak akan sukses hadapi revolusi industri 4.0 tanpa reformasi regulasi.

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Esthi Maharani
Forum Bisnis dan Rakernas Himpunan Kawasan Industri (HKI) Indonesia di The Stone Hotel Legian, Kuta, Kamis (26/7).
Foto: Republika/Mutia Ramadhani
Forum Bisnis dan Rakernas Himpunan Kawasan Industri (HKI) Indonesia di The Stone Hotel Legian, Kuta, Kamis (26/7).

REPUBLIKA.CO.ID, BADUNG -- Sektor industri Indonesia akan menghadapi revolusi industri 4.0 atau industri generasi keempat. Ini merupakan perubahan sektor industri di dunia dipengaruhi perkembangan teknologi dan internet.

Penerapannya membutuhkan inovasi dan perubahan terhadap model bisnis yang lebih efisien dan efektif untuk meningkatkan efisiensi produksi. Pemimpin dan Pendiri Pusat Kajian Regulasi, Ida Bagus Rahmadi Supancana, mengatakan, Indonesia tak akan sukses menghadapi revolusi industri 4.0 tanpa reformasi regulasi yang benar.

"Masalahnya adalah Indonesia ini sudah overregulated. Banyak regulasi yang menimbulkan multitafsir, konflik, dan tidak efektif," kata Supancana dijumpai dalam Forum Bisnis dan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Himpunan Kawasan Industri (HKI) Indonesia XIX di Bali, Kamis (26/7).

Guru Besar Fakultas Hukum Unversitas Katolik Indonesia Atma Jaya ini menjelaskan, ada 42 ribu regulasi di Indonesia, tingkat pusat juga daerah. Fakta di lapangan, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) mendata sesungguhnya ada lebih dari 98 ribu regulasi di Indonesia.

Siapa pun, kata Supancana, berpotensi melanggar semua aturan karena Indonesia sudah overregulasi. Reformasi regulasi sesuatu yang penting karena regulasi di negara ini bermasalah. Supancana berpendapat, daerah semestinya tak perlu lagi membuat aturan.

Kegagalan regulasi di Indonesia, menurut Supancana, juga disebabkan kurangnya konsultasi publik. Banyak negara yang terhimpun dalam Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mengutamakan konsultasi publik dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.

Caranya adalah melibatkan pihak-pihak yang terkena dampak dari sebuah regulasi untuk berdiskusi. Dengan berkonsultasi, mereka yang terdampak bisa mengemukakan harapan, lebih memahami tujuan sebuah regulasi, dan akhirnya menurunkan resistensi.

"Jika resistensi turun, tingkat kepatuhan masyarakat (terhadap sebuah regulasi) akan naik. Jika kepatuhan naik, efektivitas regulasi tercapai," ujar Supancana.

HKI menggandeng Telkom menghadapi revolusi industri 4.0 dengan mencanangkan program 'Making Indonesia 4.0'. Nota kesepahaman keduanya telah ditandatangani akhir Juni 2018.

Direktur Enterprise and Business Service Telkom, Dian Rachmawan, mengatakan, ini bisa meningkatkan nilai tambah Indonesia supaya dapat bersaing secara global dan menumbuhkan sektor industri dengan memperhatikan tiga faktor kunci, yaitu digitalisasi produk, internet of things (IoT), dan robotisasi produksi menggunakan mesin.

Dian mengatakan, ke depannya diperkirakan 600 juta orang membutuhkan pekerjaan. Lapangan kerja yang dibentuk di era revolusi industri 4.0 sangat berbeda dengan lapangan kerja spesifik hari ini.

"Jika tidak diseriusi, ini akan menimbulkan ketidakseimbangan antara medium level sampai high skill level di dunia kerja," katanya.

Penggunaan teknologi informasi di sektor industri akan menghemat waktu dan biaya. Produk yang dihasilkan juga lebih efisien dan mampu bersaing di pasar domestik dan global.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement