REPUBLIKA.CO.ID, PORT MORESBY -- Delapan pria telah dijatuhi hukuman mati di Papua Nugini karena keterlibatan mereka dalam pembunuhan brutal terhadap tujuh orang, yang mereka tuduh melakukan santet.
Delapan pria tersebut adalah bagian dari 97 orang yang dinyatakan bersalah bulan Februari lalu, Mereka diketahui membunuh lima pria dan dua anak-anak, berusia tiga dan lima tahun, dengan membacok mereka dengan parang sampai mati.
Mereka adalah bagian dari sekitar 180 orang yang melakukan penyerangan ke sebuah desa di provinsi Madang. Mereka mencari orang-orang yang mereka duga melakukan praktik santet. Dari 97 orang tersebut, seorang di antaranya meninggal baru-baru ini, dan sisanya 88 dijatuhi hukuman penjara seumur hiduip.
Anggota parlemen dari daerah pemilihan Madang Bryan Kramer mengatakan keputusan dari Hakim David Cannings menjatuhkan hukuman mati dimaksudkan untuk mengirim pesan kuat.
"Hakim Cannings adalah seseorang yang dikenal sebagai pegiat terkenal dalam soal HAM, sehingga beberapa kalangan terkejut dengan keputusan yang diambilnya." kata Kramer kepada program Pacific Beat ABC.
"Namun melihat seriusnya tindak yang terjadi, saya berpendapat bahwa dia melakukannya untuk membuat pernyataan, bagi mereka yang melakukan tindak kejahatan, di mana anak-anak tidak berdosa dibunuh."
Professor Philip Gibbs, seorang pastor yang mengajar di Catholic Divine Word University di PNG dan banyak melakukan penelitian mengenai kekerasan berkenaan dengan praktik santet, juga mengatakan dia terkejut dengan keputusan tersebut.
"Saya berharap ini bisa memberikan dampak membuat orang lain jera." katanya.
Walau hukum mengenai hukuman mati tidak pernah dilaksanakan lebih dari 50 tahun terakhir, pemerintah Papua Nugini kembali menerapkan hukuman mati. Hal itu sebagai jawaban atas meningkatnya kekerasan berkenaan dengan tuduhan santet dan kekerasan terhadap perempuan.
Pegiat hak asasi manusia sudah menyampaikan keprihatinan mengenai meningkatnya kekerasan. Orang-orang dibunuh atau dianiaya oleh warga di sekitar mereka, setelah dituduh menjadi 'sanguma' sebutan setempat bagi mereka yang dituduh memiliki ilmu hitam.
Walau organisasi HAM Internasional dan gereja lokal menyambut baik usaha pemerintah PNG menangani kekerasan, mereka tidak mendukung penerapan hukuman mati.
Lihat beritanya dalam bahasa Inggris di sini