REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Masyarakat Sipil Gerak Bersihkan Udara meminta pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memperketat standar baku mutu udara dengan mengikuti standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Ambang batas aman yang digunakan oleh WHO adalah 25 mikrogram per meter persegi.
Manager Kampanye Perkotaan dan Energi WALHI Dwi Sawung menyesalkan pernyataan yang kerap disampaikan pemerintah melalui KLHK terkait kondisi kualitas udara yang masih baik dan di bawah ambang batas. "Kenyataannya, kondisi kualitas udara kita sebenarnya sangat buruk apabila diukur dengan standar WHO yang berbasis bukti ilmiah," ujarnya.
Dalam pemantauannya, pemerintah selalu mengacu pada aturan baku mutu yang sudah seharusnya direvisi. Baku Mutu Udara Ambien tercantum pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1999. Peraturan ini sudah 20 tahun dan selama itu pula pengetahuan medis tentang pencemaran udara bertambah.
Baca juga, Kualitas Udara GBK Dinyatakan Berkategori Baik
Menurut dia, yang dulu dianggap aman sudah tidak memenenuhi lagi. Parameter baru yang berbahaya pada kesehatan manusia, telah jauh di bawah baku mutu yang ditetapkan WHO.
Ambang batas yang ditetapkan WHO sudah jelas mempertimbangkan dampak kesehatan yang akan diderita oleh masyarakat akan paparan polutan berbahaya setiap harinya. Ambang batas yang digunakan oleh KLHK untuk partikulat debu halus PM2.5 dalam durasi waktu 24 jam adalah 65 mikrogram per meter persegi. Sementara, ambang batas aman yang digunakan oleh WHO adalah 25 mikrogram per meter persegi.
Dengan kata lain, ambang batas yang selalu diacu KLHK hampir tiga kali lipat lebih lemah dari lembaga kesehatan PBB tersebut.
Baca juga, Kualitas Udara Jakarta Buruk, Warga Diminta Pakai Masker
Begitu pula halnya dengan ambang batas polutan lainnya, seperti PM10 yang lebih lemah tiga kali lipat dalam durasi pengukuran 24 jam, polutan Nitrogen dioksida (NO2) yang lebih lemah dua kali lipat dibandingkan standar aman WHO dalam durasi pengukuran satu jam, dan polutan Sulfur dioksida (SO2) yang lebih lemah 15 kali lipat dalam durasi pengukuran 24 jam.
Hal ini tentunya sangat mengkhawatirkan bagi masyarakat yang terpapar oleh polutan-polutan ini setiap harinya.
Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad Safrudin, mengatakan, masyarakat sudah melihat kabut asap yang menyelimuti Jakarta sehari-hari.
Tidak aneh juga melihat warga Jakarta memakai masker ketika beraktivitas di luar ruang.
"Permasalahan polusi tidak dapat diselesaikan tanpa kemauan politik yang jelas dan keberanian KLHK untuk menetapkan peraturan yang ketat terhadap seluruh sumber polusi, baik itu transportasi, industri maupun pembangkit listrik batubara yang mengelilingi ibukota," ujar dia.