REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL—Pertandingan lanjutan Liga 2 yang mempertemukan PSIM Yogyakarta dan PSS Sleman, Kamis (26/7) sempat diwarnai kericuhan di luar Stadion Sultan Agung (SSA). Polisi pun terpaksa membubarkan penonton di luar stadion dengan semprotan gas air mata.
Melihat hal itu, Anggota DPRD Bantul, Setiya mengaku prihatin atas kejadian yang menimbulkan rasa tidak aman bagi masyarakat Bantul tersebut. Apalagi, bentrokan yang terjadi telah menimbulkan korban jiwa bernama Muhammad Iqbal (16) yang harus kehilangan nyawa pada malam setelah pertandingan.
“Seharusnya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) telah mempertimbangkan semua ini. Apalagi, jika sebuah pertandingan dinilai memiliki resiko tinggi, sebaiknya Pemkab tidak memberikan ijin pertandingan," ujar Setiya, Jumat (27/7)
Ia menilai, keselamatan dan kenyamanan masyarakat Bantul seharusnya menjadi prioritas saat Pemkab melakukan pertimbangan dalam pemberian izin penggunaan SSA. Sehingga, pertimbangan terkait keselamatan dan keamanan ini dapat diutamakan dibanding kepentingan lainya.
"Pemkab itu memiliki otoritas. Seharusnya kewenangan itu digunakan untuk melindungi masyarakat Bantul," kata dia.
Atas dasar keamanan, sebenarnya keberadaan SSA sempat tak mendapat restu dari beberapa anggota DPRD. Mengingat stadion adalah salah satu objek yang cukup rentan terhadapt terjadinya aksi huru-hara, maka lokasi SSA yang terlalu berdekatan dengan pemukiman dinilai berpotensi menimbulkan rasa tidak aman bagi masyarakat Bantul.
Namun, karena kini SSA sudah mulai beroperasi, maka diharapkan seluruh pemangku kepentingan terkait penggunaan SSA dapat lebih mempertimbangkan faktor keamanan. Sehingga, lanjutnya, infrastruktur yang dibangun atas kontribusi pajak masyarakat Bantul itu tidak justru memberikan dampak negatif bagi masyarakat Bantul itu sendiri.
“Prinsipnya kita harus mampu memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat. Jangan sampai masyarakat kehilangan rasa aman dan nyaman karena adanya pertandingan bola yang beresiko,” kata Setiya.