REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri Siswo Pramono menilai kebijakan luar negeri Amerika Serikat sejauh ini masih berpengaruh positif bagi negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Semenjak Trump terpilih sebagai Presiden AS pada Januari 2017, ia telah melakukan perubahan kebijakan signifikan terhadap Asia Tenggara, salah satunya penarikan AS dari Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) yang melibatkan empat negara ASEAN yakni Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura dan Vietnam.
Presiden Trump sendiri telah melakukan perjalanan ke Asia sebanyak enam kali
"Kalau melihat kunjungannya sudah enam kali, itu harapan bagus sebetulnya karena berarti Trump merasa memiliki kepentingan di sini," ujar Siswo dalam forum terbuka tentang 'Kebijakan Luar Negeri AS terhadap Asia Tenggara di bawah Pemerintahan Presiden Donald Trump'," di Jakarta, Jumat.
AS mengalihkan fokusnya ke Asia Timur dan meningkatkan proteksionisme ekonomi akibat kebijakan America First yang diinisiasi Trump. Meski demikian, Dalam Shangri-La Dialogue bulan lalu, Menteri Pertahanan AS James Norman Mattis menyatakan komitmen Amerika Serikat kepada Asia Tenggara melalui konsep "Indo-Pasifik bebas dan terbuka" (FOIP).
Baca juga, Trump Kecewakan Komunitas Muslim Amerika.
Dalam bulan yang sama, Presiden Trump memilih Singapura sebagai lokasi untuk mengadakan pertemuan bersejarah AS-Korea Utara, yang lebih jauh menunjukkan pentingnya kawasan tersebut bagi AS.
Setelah memiliki sejarah panjang keamanan dan hubungan ekonomi yang penting dengan Asia Tenggara, AS mencoba untuk menegakkan hubungan mereka melalui gerakan diplomatik tingkat tinggi dan jaminan di bawah administrasi saat ini.
Hubungan AS dengan Indonesia terjalin kuat dalam berbagai bidang di antaranya kerja sama pelatihan militer, pertukaran mahasiswa, serta investasi meski nilainya tidak setinggi Singapura, Jepang, maupun Cina.
Indonesia, menurut Siswo, akan terus mengikuti perkembangan kebijakan AS dan melakukan diplomasi untuk menjaga kepentingan nasional juga kawasan.
AS pun dinilainya tidak akan bisa memandang Asia Tenggara sebelah mata karena kawasan ini telah menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dengan pasar yang besar dan daya beli tinggi.
"Kita tidak bisa mengubah (kebijakan) AS, tetapi kita bisa memengaruhi mereka dengan dialog. Setiap negara merdeka punya 'political will' masing-masing dan itu harus dihargai, tetapi kita selalu berupaya mendorong pihak lain untuk bekerjasama demi hasil yang lebih baik," tutur Siswo.
Sementara itu, praktisi Studi Asia Tenggara dari School of Advanced International Studies (SAIS), John Hopkins University, Professor William M. Wise, menilai kebijakan luar negeri Trump yang seringkali tidak dapat ditebak. Ini justru menjadi kesempatan baik bagi negara-negara ASEAN untuk mengelola mekanisme institusional dan memperkuat keamanan di kawasan tersebut.
Kedua instrumen tersebut, kata Wise, akan mempersiapkan ASEAN menghadapi permainan kekuasaan antara AS dan Cina di Asia Tenggara melalui ancaman perang dagang AS-Cina, serta mencoba menyeimbangkan dua pengaruh kekuatan besar di wilayah tersebut.