Sabtu 28 Jul 2018 08:50 WIB

Ungkit Isu Kudatuli, Pengamat: Bentuk Kepanikan PDIP

Penting bagi PDIP untuk memastikan atas nama siapa pengaduan Kudatuli dibuat.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Reiny Dwinanda
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristyanto mendatangi Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) untuk menuntut dituntaskannya kasus pelanggaran HAM berat Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli (Kudatuli) 1996. Komnas HAM, Jakarta. Rabu (26/7).
Foto: Republika/Arif Satrio Nugroho
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristyanto mendatangi Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) untuk menuntut dituntaskannya kasus pelanggaran HAM berat Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli (Kudatuli) 1996. Komnas HAM, Jakarta. Rabu (26/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Hurriyah menilai wajar digorengnya kembali isu lawas menjelang pemilihan presiden. Hal tersebut sengaja dimainkan untuk memberi tekanan dan menjadi kampanye negatif hingga mendekati hari pelaksanaan pilpres.

Pengaduan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) atas peristiwa 27 Juli 1996 atau dikenal Kudatuli ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga termasuk di antaranya. Dalam pengaduannya, PDIP juga mengungkit peran Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saat itu SBY yang masih berpangkat brigadir jenderal TNI memegang posisi sebagai kepala Staf Komando Daerah Militer Jakarta Raya (Kasdam Jaya).

Di lain sisi, Hurriyah melihat pengaduan ini sebagai bentuk kepanikan partai yang ingin mencari strategi dalam menekan pihak lawan. Mereka berupaya membuka kembali masa lalu yang bernuansa pelanggaran HAM yang turut menyangkut SBY. Apalagi, SBY dan Megawati memiliki hubungan dingin yang tampaknya sulit untuk diperbaiki.

Baca Juga: Kasus Kudatuli, Pigai: Selama Ini PDIP ke Mana Saja?

Hurriyah berpendapat penting bagi PDIP untuk memastikan atas nama siapa pengaduan tersebut dibuat. Sebab, itu akan menjadi serangan balik jika dilakukan atas nama Megawati. Apalagi, Megawati justru mengangkat SBY sebagai menteri di kabinetnya.

"Ketika isu HAM disuarakan, tapi bukan untuk penyelesaian kasus, maka dipastikan pengaduan ini pasti jadi bumerang," tutur Hurriyah.

Saat ini, Hurriyah menjelaskan, masyarakat tidak butuh saling lempar tanggung jawab. Idealnya, pemerintah harus membuka kasus bernuansa pelanggaran HAM. Tidak hanya Kudatuli, tetapi juga kasus lain agar tidak terkesan tebang pilih.

Pemerintah juga harus profesional dalam memanggil nama-nama besar yang memiliki keterkaitan dengan kasus tersebut. Hurriyah menuturkan, ada nama orang-orang yang sebenarnya tersangkut dengan pelanggaran HAM dan kini berada di lingkar kekuasaan. "Kalau perhatiannya terhadap kasus HAM, mereka juga harus diusut," ujarnya tanpa memerinci nama-nama yang dimaksud.

Tindak lanjut dari kasus Kudatuli bisa dijadikan sebagai indikator pemerintah dalam menangani kasus bernuansa pelanggaran HAM. Apabila pemerintah dan Komnas HAM memang serius, maka kasus itu akan diusut. Tapi, jika sekadar menyinggung Kudatuli dan tetap mengubur kasus lain, patut diduga bahwa pengaduan PDIP ini hanya motif politik.

Baca Juga: Pengamat: Pengaduan PDIP Soal Kudatuli Bisa Jadi Bumerang

Pada Kamis (26/7), Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto datang bersama Ketua DPP PDIP Trimedya Panjaitan dan anggota Komisi III Fraksi PDIP Junimart Girsang ke Komnas HAM. Mereka bertemu dengan Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik.

Kedatangan Hasto tersebut untuk menuntut Komnas HAM segera menuntaskan peristiwa Kudatuli. Diketahui, peristiwa itu terjadi ketika peristiwa ambil alih paksa kantor PDI kubu Megawati oleh kubu Soerjadi pada 27 Juli 1996.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement