Sabtu 28 Jul 2018 18:07 WIB

KPPOD: Anggota DPD Sebaiknya dari Kalangan Independen

DPD bentuk partisipasi masyarakat daerah untuk dibawa ke Jakarta.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Ratna Puspita
Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng (kanan)
Foto: Republika
Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng (kanan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan anggota DPD sebaiknya memang berasal dari kalangan independen yang merepresentasikan daerah secara utuh. Karena itu, ia mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang calon anggota DPD dari pengurus parpol sudah tepat. 

“Ini adalah perjuangan panjang yang merupakan advokasi dari banyak pihak. Sebab, awal kemunculan DPD ini kan harapan masyarakat besar kepada mereka," ujar Robert dalam diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (28/7). 

Menurut dia, sifat keterwakilan DPD merupakan satu kesatuan utuh dengan daerah. Anggota DPD mewakili daerah sebagai wujud partisipasi masyarakat daerah secara nasional. 

Ia mengayakan DPD bukan seperti DPR yang mewakili dapil tertentu. DPD bentuk partisipasi masyarakat daerah untuk dibawa ke Jakarta agar bisa membawa aspirasi penganggaran dan pengawasan yang berkaitan dengan daerahnya.

Karena itu, dia menekankan, jika pasal 22 E ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945 sebaiknya memang dimaknai secara kontras. Dalam pasal 22 E ayat (3), disebut bahwa anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dipilih dari parpol. 

Sementara itu, pada ayat (4), disebutkan anggota DPD dipilih dari kalangan perseorangan. "Jadi, yang disebut dengan perseorangan itu, ya, non-parpol dan independen. Tidak bisa ditafsirkan bermacam-macam," kata dia.

Peneliti dari Populi Center, Dimas Ramadhan, mengatakan dalam pelaksanaan tugasnya, DPD sering tumpang tindih dengan DPR. Keduanya punya representasi atas daerah. 

Jika anggota DPD dianggap lebih baik bukan berasal dari pengurus parpol pun tidak bisa dibenarkan. Sebab, lembaga ini sering hanya dijadikan ajang mencari pekerjaan. 

Karena itu, dalam perkembangannya, DPD ini menimbulkan kegamangan. Banyak anggota DPD yang tidak memahami daeraahnya, serta fungsi dan tugasnya. 

“Memang harus dikaji lagi soal lebih bermanfaat mana DPD dari pengurus parpol atau DPD dari kalangan independen, " ungkapnya. 

MK memutuskan mengabulkan permohonan uji materi atas pasal 128 huruf I UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Ketua MK Anwar Usman dalam putusannya menyatakan mengabulkan permohonan uji materi atas nama Muhammad Hafidz itu secara keseluruhan.

"Mengabulkan permohonan untuk seluruhnya," kata Anwar Usman saat membacakan putusan di Gedung MK, Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (23/7). 

Menurut MK, pasal 182 huruf I tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan inkonstitusional. Pasal itu menyebutkan bahwa calon anggota DPD tidak boleh memiliki 'pekerjaan lain'. 

Pekerjaan lain yang dimaksud yakni tidak melakukan praktik sebagai akuntan publik, advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah dan/atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara, serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang atau hak sebagai anggota DPD. 

Hakim MK, I Gde Dewa Palguna, dalam pertimbangan putusannya menyebutkan bahwa frasa 'pekerjaan lain' harus mencakup makna pengurus parpol. "Mahkamah penting untuk menegaskan bahwa pengurus adalah mulai dari pusat sampai paling rendah sesuai struktur organisasi parpol," kata dia. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement