REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengungkap penataan dan pengaturan layanan kesehatan rehabilitasi medik yang tercantum di Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdirjampelkes) karena kemampuan finansial. Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Budi Mohamad Arief mengatakan, BPJS Kesehatan ingin agar mutu tetap terjaga.
"Namun itu juga disesuaikan dengan kemampuan finansial kami. Karena itu, kami melakukan efisiensi dan pengaturan," ujarnya saat konferensi pers mengenai Perdirjampelkes, di Jakarta Pusat, Senin (30/7).
Ia menyebut rehabilitasi medik menjadi salah satu layanan kesehatan yang mendapat pengaturan karena biaya klaim layanan ini selama 2017 mencapai Rp 965 miliar. Ia menyebutkan jumlah klaim rehabilitasi medik lebih besar dibandingkan tiga penyakit katastropik seperti thalassemia, cirrhosis hepatitis, hingga leukimia yang membutuhkan pembiayaan Rp 946 miliar.
Oleh karena itu, kata dia, BPJS Kesehatan bersama dengan Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) telah berbicara dan mereka menyampaikan maksimal seseorang mendapat rehabilitasi medik sebanyak tiga kali sepekan. Karena itu, meski tetap menjamin rehabilitasi medik, pihaknya memberikan beberapa aturan baru.
"Kami menetapkan peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) maksimal dua kali kunjungan dalam sepekan karena kemampuan finansial," katanya.
Ia mengutip berdasarkan Perdirjampelkes di Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik Pasal 3 telah diatur jumlah kunjungan peserta JKN-KIS paling banyak dua kali per pekan dan delapan kali setiap bulan. Jadi, kata dia, kalau ada peserta yang membutuhkan layanan lebih dari ketentuan, ia bisa kembali menjalani rehabilitasi medik di bulan depannya. BPJS Kesehatan, kata dia, coba melakukan pengaturan dan penataan berdasarkan kesepakatan yang baru ditetapkan.
Kendati demikian, pihaknya tidak menutup mata jika ternyata ada beberapa kondisi kesehatan pasien yang memerlukan tindakan rehabilitasi yang frekuensinya lebih dari dua kali sepekan dan delapan kali sebulan.
Terkait katarak, Ia menambahkan secara umum berubah layanan operasi katarak tetap ditanggung. Ini dinyatakan dalam pasal 2 Perdirjampelkes. Kendati demikian, kata dia, yang membedakan adalah persyaratannya. Ia menyebutkan kalau dulu peserta JKN-KIS yang katarak dengan kejernihan penglihatan (visus) berapapun masih dijamin.
"Sedangkan sekarang kalau visusnya lebih kecil dari 6/18 preoperatif silakan operasi. Sementara kalau visusnya masih baik dan tidak terganggu berdasarkan indikasi medis lain-lain, ini bukan menjadi prioritas," ujarnya saat konferensi pers mengenai Perdirjampelkes, di Jakarta Pusat, Senin (30/7).
Ia mengutip berdasarkan monitoring evaluasi dan efisiensi 2017, data operasi katarak mncapai Rp 2,65 triliun dan biaya ini lebih besar dibangingkan operasi gagal ginjal yang mencapai sekitar Rp 2,2 triliun."Padahal, katarak dalam kondisi tidak gawat darurat dibandingkan gagal ginjal yang gawat darurat," katanya.