REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Pengawas hak asasi manusia Korea Selatan akan melakukan penyelidikan terhadap 12 pelayan restoran Korea Utara yang diduga melakukan pembelotan. Langkah tersebut dilakukan kurang dari sebulan setelah seorang pejabat PBB menyerukan penyelidikan terhadap beberapa wanita yang tertipu dalam perjalanannya ke Selatan.
Dilansir The Guardian, Senin (30/7), keduabelas wanita itu tiba di Korea Selatan bersama dengan manajer mereka, Heo Kang-il, sejak April 2016 lalu dari Ningbo di Cina bagian timur. Peristiwa itu disebut-sebut sebagai salah satu pembelotan paling sensasional oleh warga Korea Utara selama bertahun-tahun.
Peristiwa tersebut dinilai menjadi penghalang upaya untuk mendamaikan dua negara Korea tersebut. Surat kabar Pyongyang, Rodong Sinmun mengatakan Reuni dua korea yang direncanakan dilakukan bulan depan terancam batal jika keduabelas wanita itu tidak diizinkan untuk kembali ke Korea Utara.
Heo mengatakan dirinya telah memutuskan untuk memata-matai Korea Selatan setelah mantan teman sekelasnya dibunuh, dan ketika dia meminta untuk membelot, pengurusnya memerintahkan dia untuk membawa wanita-wanita itu bersamanya.
Tuduhan itu semakin mencoreng reputasi agen mata-mata Seoul yang dinilai telah mengganggu stabilitas politik, membantu tindakan korupsi dan memalsukan investigasi spionase. Pembelotan tersebut terjadi di era kepresidenan Park Geun-hye, yang digulingkan dan dipenjarakan karena korupsi, dan mengambil sikap bermusuhan terhadap Korea Utara di tengah ketegangan yang meningkat.
Dua belas wanita dan satu pria itu adalah bagian dari apa yang diperkirakan pemerintah AS untuk 93 ribu orang yang dikirim Korea Utara untuk bekerja di luar negeri dan mendapatkan uang yang sangat dibutuhkan untuk rezim saat ini. Orang Korea Utara juga bekerja di industri penebangan Rusia dan proyek pembangunan Qatar.