REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menilai meskipun di dalam praktek politik Ketua Umum Prartai Gerindra Prabowo Subianto tidak harus mengikuti hasil rekomendasi ijtima' ulama, namun secara moral politik, rekomendasi tersebut mengikat Prabowo. "Pertama, rekomendasi tersebut merupakan hasil ijtima' ulama yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia dari Sabang sampai Merauke," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id.
Ia menambahkan, sebagian besar dari yang hadir di dalam ijtima' tersebut adalah para ulama yang turut terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam gerakan 212 pada 2016 silam. Oleh karena itu, menurutnya rekomendasi tersebut sulit untuk diabaikan Prabowo. "Secara jaringan, sebagian dari jaringan Prabowo adalah bagian dari gerakan tersebut," katanya.
Baca: PKS Siap Perjuangkan Rekomendasi Ijtima Ulama
Kedua, direkomendasikannya nama Ketua Umum Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al-Jufrie dan penceramah Ustaz Abdul Somad adalah nama yang memiliki basis massa sosial keagamaan yang kuat. Ia menjelaskan, Salim Segaf Al-Jufrie adalah seorang Doktor, ulama yang memiliki basis sosial keagamaan yang kuat di wilayah Indonesia Tengah dan Timur. Salim juga pernah menjabat sebagai menteri sosial dan duta besar. Sementara itu Abdul Somad adalah ustaz dengan jutaan pengikut di dunia maya yang terus bertambah.
"Secara moral politik, Prabowo tidak bisa mengabaikan PKS, apalagi sikap PKS yang pernah legowo menerima Anies Baswedan sebagai calon Gubernur DKI meskipun Cawagub kader PKS Mardani Ali Sera harus mundur dari pencalonannya," jelasnya.
Ia menganggap, jika pada akhirnya Prabowo memilih Salim Segaf Al-Jufri sebagai pendampingnya, hal itu menunjukkan moralitas politik seorang Prabowo. Sebaliknya, jika perubahan terjadi, maka Prabowo membenarkan tesis bahwa dalam politik tidak ada kawan abadi yang ada adalah kepentingan yang abadi. "Atau sama artinya Prabowo mengajarkan pengabaian moralitas dalam politik," ujarnya.