REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Pengadilan Israel telah menghukum penyair Palestina, Dareen Tatour lima bulan penjara atas tuduhan menghasut terorisme untuk negara zionis dalam sebuah puisi yang ia posting di media sosial. Ia dijatuhi hukuman oleh pengadilan distrik Nazaret setelah menjalani hampir tiga tahun tahanan rumah.
Tatour ditangkap pada Oktober 2015. Penangkapan dilakukan setelah dia mengunggah puisinya di akun media sosialnya. Puisi itu dia bacakan dalam sebuah video dengan menyisipkan cuplikan rekaman warga Palestina yang berdemonstrasi sambil melempar batu ke arah pasukan keamanan Israel.
Salah satu bait dalam puisinya berbunyi, "Lawan, bangsaku, lawan mereka. Lawan perampok pemukim, dan ikuti kafilah para martir," seperti dilansir di Aljazirah, Rabu (1/8).
Setelah video pembacaan puisi itu diunggahnya, Tatour ditangkap. Otoritas Israel menganggap karyanya telah menghasut kekerasan terhadapnya.
Sebagai penduduk desa Galilee Reineh dekat Nazareth, Tatour adalah anggota dari Palestina Israel atau minoritas Arab, yang membentuk hampir 20 persen penduduk Israel. Warga Palestina tetap di tanah mereka setelah Israel didirikan pada tahun 1948, ketika 750 ribu orang Palestina dipaksa untuk meninggalkan rumah mereka yang dikenal sebagai 'Nakba' atau 'malapetaka'.
Yara Hawari, rekan di Al-Shabaka, Jaringan Kebijakan Palestina mengatakan bahwa kasus Tatour menyoroti bagaimana warga Palestina di Israel juga menghadapi hukuman penjara dan penganiayaan sama seperti warga Palestina yang tinggal di Tepi Barat yang dijajah.
"Kasus Dareen Tatour menunjukkan apa artinya menjadi Palestina di bawah rezim penjajah kolonial Israel, terutama batas kebebasan berbicara dan berekspresi," kata Hawari.
Nadim Nashif, direktur 7amleh, Pusat Arab untuk Kemajuan Media Sosial yang bermarkas di Haifa, mengatakan bahwa hukuman dan keyakinan Tatour adalah bagian dari upaya sistematis pemerintah Israel untuk mengurangi kebebasan berbicara Palestina di internet. "Sebagai orang Palestina dan sebagai pribadi, dia memiliki hak untuk mengecam pendudukan Israel," kata Nashif.