REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyiapkan instrumen berbasis pasar untuk pengurangan emisi di sektor energi. Pasar karbon menjadi cara yang dinilai tepat dalam mitigasi perubahan iklim.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Ruandha Agung Sugardiman mengatakan, ada beberapa upaya yang dilakukan Indonesia sebagai komitmennya dalam Nationally Determined Contribution (NDC) dari sektor energi. Beberapa upaya yang bisa dilakukan tersebut salah satunya penggunaan biofuel energi dari nabati untuk transportasi.
"Nah ini perlu didorong terus, kemudian energi terbarukan juga harus didorong terus," katanya saat ditemui usai diskusi Pojok Iklim di Gedung Manggala Wanabakti, Rabu (1/8).
Menurutnya, sektor energi harus mampu melakukan upaya-upaya tersebut. Sementara KLHK menginventarisasi berapa emisi yang terjadi dari sektor tersebut, termasuk ini berapa yang sudah berhasil diturunkan melalui upaya-upaya yang dilakukan.
Ruandha menambahkan, Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebanyak 29 persen di bawah tingkat Business as Usual (BAU) pada 2030. Hal ini tertuang di dalam dokumen NDC yang disampaikan kepada UNFCCC pada November 2016.
Perubahan Iklim Picu Gelombang Panas Sering Terjadi di Eropa
Instrumen berbasis pasar pun dikeluarkan untuk meningkatkan upaya mitigasi perubahan iklim. Cara ini berfokus pada satu hal yakni memberikan nilai ekonomis bagi setiap unit penurunan emisi alias carbon pricing atau yang sebelumnya dikenal dengan pasar karbon.
Pasar karbon adalah melakukan jual beli karbon. Maksudnya, pihak yang tidak bisa melakukan penurunan emisi berkewajiban 'membeli' karbon dari pihak yang mampu mengurangi emisinya. Dana tersebut nantinya digunakan pihak tersebut sebagai upaya untuk kembali meningkatkan penurunan emisinya. Misalnya, dengan menerapkan mesin teknologi baru atau melakukan penanaman pohon.
Peraturan Pemerintah No.46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup juga telah ada dan menjadi payung hukum untuk penerapan instrumen mitigasi berbasis pasar secara domestik.
Asisten Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim, Kantor Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim (UKP-PPI) Moekti H. Soejachmoen mengatakan, carbon pricing sebenarnya sudah disebut di NDC Indonesia, tinggal bagaimana menerapkannya. Begitu juga dengan keberadaan pasar karbon pada Paris Agreement.
"Pasar karbon dalam persetujuan paris sifatnya sukarela," ujar dia.
Dalam kesempatan tersebut ia menegaskan, pemerintah tidak bisa memberi benefit bagi perusahaan untuk mampu mengurangi emisinya. Hal tersebut karena adanya keterbatasan anggaran yang ada.
Pemberian benefit ini bahkan sulit dilakukan negara yang memiliki kemampuan ekonomi lebih baik seperti Uni Eropa. Pemerintah UE, diakui Moekti tidak membeli karbon yang dihasilkan. Lain halnya dengan Australia yang memang memberi dana untuk penurunan emisi.
"Benefit itu tidak harus dari pemerintah. Pada saat market domestiknya terbentuk, kan akan berputar di antara pemain," katanya.