REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang remaja putri korban perkosaan di Jambi mendekam di penjara setelah melakukan aborsi. Kabar itu pun memicu gejolak di masyarakat.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Hubungan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Polisi Mohammad Iqbal menjelaskan konstruksi hukum yang menyebabkan WA dibui. Menurut Iqbal, kasus tersebut sudah melalui proses penyelidikan dan penyidikan polisi sehingga diproses oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Jaksa kemudian menganalisis dan memastikan berkas lengkap sehingga remaja dengan inisial berinisial WA (15 tahun) itu dituntut di pengadilan. Pengadilan Negeri Muara Bulian menghukumnya enam bulan penjara pada 19 Juli 2018 karena aborsi.
WA melakukan aborsi setelah diperkosa oleh kakak kandungnya sendiri. Mengapa korban pemerkosaan dihukum?
"Fakta hukumnya, korban melakukan aborsi. Itu kan menghilangkan nyawa juga jadi hukum harus tegak," kata Iqbal di Markas Besar Polri, Jakarta, Rabu (1/8).
Iqbal menjelaskan, aborsi tergolong sebagai penghilangan nyawa yang tidak dilegalkan. Mengenai kasus di Jambi, Kepolisian, Kejaksaan, dan pengadilan setempat menganggap aborsi sebagai perbuatan melawan hukum sehingga terjadilah vonis bagi WA.
Iqbal pun membantah adanya UU yang mengatur legalnya aborsi untuk korban pemerkosaan. Ia menjelaskan aborsi hanya dapat dibenarkan dalam kondisi darurat.
"Apabila tidak diaborsi kemudian menghilangkan nyawa ibunya maka atas dasar kesehatan, itu diperbolehkan," jelasnya.
Kendati demikian, Iqbal menyatakan akan ada tindakan khusus atau lex specialis mengingat WA adalah perempuan yang masih di bawah umur. Ia pun berjanji akan mempelajari fakta-fakta yang ada di Polres Muara Bulian di Jambi.
Iqbal memaparkan polisi pun akan mengusut tuntas kasus pemerkosaannya. Ibu korban bahkan akan diperiksa polisi.
"Kami akan cek dan saya minta polisi di sana harus tampil bukan hanya sebagai penegak hukumm tapi pengayom masyarakat. Ada hati nurani yang dikedepankan," kata Iqbal.