REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasar karbon yang diterapkan dinilai mampu membantu Indonesia mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen pada 2030. Namun untuk mewujudkannya diperlukan dukungan kebijakan agar pasar karbon di Indonesia bergairah.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ruandha A Sugardiman mengatakan, pasar karbon bisa menjadi insentif untuk mencapai penurunan emisi GRK Indonesia. "Kalau hanya mengandalkan dana sendiri tidak akan cukup," katanya saat ditemui pada acara diskusi Pojok Iklim di Gedung Manggala Wanabakti, Rabu (1/8).
Dalam dokumen kontribusi Nasional yang diniatkan atau Nationally Determined Contribution (NDC) terkait Persetujuan Paris, Indonesia memiliki komitmen ambisius untuk menurunkan emisi GRK sebesar 29 persen di bawah tingkat bussiness as usual (BAU) pada 2030. Sektor kehutanan dan energi menjadi penyumbang terbesar dalam pencapaian target tersebut masing-masing dengan 17 persen dan 11 persen.
Pakar pasar karbon di Partnership for Market Readiness (PMR) Andi Samyanugraha mengungkapkan, telah ada sejumlah proyek rendah karbon yang didukung oleh instrumen berbasis pasar. Diantaranya, 47 proyek Clean Development Mechanism (CDM) senilai 1 miliar dolar AS dengan kredit karbon setara 32 juta ton CO2. Selain itu ada juga 29 proyek yang terdaftar dalam joint credit mechanism (JCM) senilai 129 juta dolar AS.
"Pasar karbon bisa mendorong investasi rendah karbon di Indonesia," katanya.
Ia melanjutkan, harga kredit karbon yang cukup menarik akan mendorong investasi proyek rendah karbon. Contohnya ketika pasar karbon mandatory seperti diatur berdasarkan Protokol Kyoto masih bergairah.
Berdasarkan Protokol Kyoto, negara-negara maju memiliki kewajiban (mandatory) untuk menurunkan emisi GRK. Sebagian dari kewajiban ini bisa dipenuhi dengan memberikan insentif untuk penurunan emisi di negara berkembang dan ini menjadi dasar pembentukan CDM. Ketika periode pertama Protokol Kyoto berakhir pada 2012, harga kredit jatuh dan pasar karbon internasional melambat.
Meski demikian, Samyanugraha meyakini, peluang pasar karbon untuk berkembang khususnya di tataran domestik tetap terbuka asal didukung oleh kebijakan pemerintah. Sebab, esensi dari pasar karbon adalah memungkinkan mitigasi perubahan iklim dengan biaya rendah dan itu dibutuhkan untuk mencapai target NDC Indonesia.
Salah satu kebijakan yang bisa memicu pasar karbon domestik adalah penerapan pembatasan emisi. Menurutnya, secara global saat ini terdapat 51 pasar karbon domestik, 49 diantaranya merupakan pasar karbon mandatory.
Secara global, pada 2017 lalu, kata dia, pasar karbon mandatory mencakup 11 Giga ton setara CO2 dengan nilai mencapai 82 miliar dolar AS. Sementara pasar karbon yang tidak didasarkan kewajiban penurunan emisi (voluntary) hanya memproduksi penurunan emisi 63,4 miliar ton setara CO2 dengan nilai pasar 191 juta dolar AS pada 2016.
Asisten Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim Moekti H Soejachmoen menyatakan, meski Protokol Kyoto kini telah digantikan dengan Persetujuan Paris, namun instrumen berbasis pasar untuk mendorong penurunan emisi GRK tetap terbuka.
"Instrumen berbasis pasar menjadi bagian dari pendekatan kerja sama pada Persetujuan Paris dan sedang dibahas dalam lembaga di bawah UNFCCC " ujar dia. UNFCCC merupakan Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim.
Sementara itu Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Sarwono Kusumaatmadja mengatakan, Indonesia telah memiliki payung hukum bagi penerapan instrumen berbasis pasar lewat Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup.
Ia juga mengingatkan, mekanisme pasar karbon jangan sampai menjadi ajang white washing, dimana investor yang membeli karbon kredit adalah mereka yang sebelumnya melakukan praktik high carbon economy.