Kamis 02 Aug 2018 19:17 WIB

Insentif Kecil Buat Petani Gula tak Bergairah

Studi menunjukkan, harga gula yang layak adalah 1,6 kali harga beras.

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Friska Yolanda
Gula
Foto: pixabay
Gula

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Insentif yang kurang menarik membuat petani gula tidak bersemangat. Insentif tersebut merupakan harga yang ditawarkan pemerintah.

Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Agus Pakpahan mengatakan, pada 2006 margin pemasaran yang diterima petani mencapai 80 persen. "Sekarang kecil sekali. Bahkan kalau kita gunakan data dari hasil IPB, UGM, UNIBRAW biaya usaha tani tebu itu Rp 10.500 per kg," katanya saat ditemui usai Focuss Group Discussion (FGD) di Sekretariat Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Kamis (2/8).

Sementara, harga beli gula petani yang berada di angka Rp 9.100 per kg atau Rp 9.700 kg. Itu artinya, angka tersebut berada jauh di bawah biaya produksi, menurut perhitungan tiga perguruan tinggi negeri itu.

Berdasarkan studi, kata dia, harga gula yang layak adalah 1,6 kali harga beras. Artinya harga gula ini harus dijual Rp 15 ribu per kg di konsumen. Dengan harga Rp 15 ribu per kg, harga gula petani bisa dibeli lebih mahal.

Baca juga, Langkah Mendag Batasi Harga Beli Gula Sengsarakan Petani

"Makanya kita lihat tren dari 2008 ke sini turun terus, karena luas areal yang ditanami tebu petani berkurang. Kenapa? Karena insentifnya mengecil. Ini sangat rasional," tegas dia.

Produksi gula diakui Agus tergantung pada musim, luas areal dan produktivitas. Musim yang baik seprti musim kering meruapakan waktu yang baik bagi petani tebu, namun ia ragu pertanaman tebu petani semakin luas.

Menurutnya, dengan insentif yang berkurang membuat luas areal tebu berkurang. Hal tersebut membuat produksi gula tidak akan mengalami peningkatan.

"Dugaan saya sama atau bahkan menurun, tapi mudah-mudahan tidak jauh beda dengan tahun lalu, 2,1 juta ton," kata dia.

Sementara kebutuhan gula konsumsi sebesar 11 kg per orang per tahun. Dengan jumlah masyarakat sekitar 260 juta, menurutnya tidak ada yang mengetahui pasti berapa angka konsumsi yang tepat.

"Kalau pakai data normatif yang diperlukan tidak sampai tiga juta ton," katanya.

Dalam kesempatan itu ia menyarankan 

adanya estimasi ulang jumlah konsumsi gula yang sehat seperti apa. Maksudnya, bagaimana upaya masyarakat mengkonsumsi gula dalam takaran sehat.

Data kondisi kesehatan Indonesia tidak terlalu baik. Oleh karena itu, sebagai negara maju kebijakan yang diambil asalah mengurangi konsumsi untuk kesehatan. Cara ini telah diterapkan di negara maju dan bisa dijadikan referensi. Bahkan di Inggris, produk gula dikenai pajak yakni sugar tax.

Cara tersebut menurutnya bisa diterapkan dibanding melakukan impor gula besar-besaran. Impor yang dilakukan nantinya justru akan memunculkan pertanyaan dari efek hingga pertimbangan bisnis. Meski, mengingat rendahnya produksi gula, impor bisa dilakukan.

"Saya pikir butuh, tapi terkendali," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement