REPUBLIKA.CO.ID, SANAA -- Sedikitnya 55 orang, termasuk wanita dan anak-anak, tewas di kota pelabuhan Laut Merah Yaman, Hodeidah. Mereka tewas dalam serangan udara yang dilakukan koalisi Saudi.
Dilansir Aljazirah, Jumat (3/8), dalam sebuah pernyataan Kamis malam, Kementerian Kesehatan yang dikuasai Houthi mengatakan serangan itu menargetkan Rumah Sakit Umum al-Thawra dan sebuah pelabuhan nelayan. Serangan melukai sedikitnya 124 warga Yaman.
Menteri Kesehatan Masyarakat dalam pemerintahan yang dipimpin Houthi, Taha al-Mutawakil, mengatakan pemerintah setempat berjuang untuk membantu korban. Ambulans takut mengangkut orang-orang yang terluka ke Sanaa atau provinsi lain karena khawatir menjadi sasaran oleh serangan udara.
Palang Merah Internasional, yang mendukung Rumah Sakit al-Thawra, mengaku telah mengirim pasokan untuk perban operasi yang akan cukup untuk mengobati hingga 50 pasien yang berada dalam kondisi kritis.
"Apa yang telah kita lihat di Hodeidah adalah kejahatan yang keji," kata Mutawakil dikutip oleh kantor berita Saba.
Dia menambahkan, AS juga harus bertanggung jawab atas korban tewas. Dengan dukungan logistik dari AS, Arab Saudi dan UEA telah melakukan serangan di Yaman sejak Maret 2015. Mereka berupaya untuk mengembalikan pemerintahan Presiden Abu-Rabbu Mansour Hadi yang diakui secara internasional.
Setidaknya, 10 ribu orang tewas dalam pertempuran itu dan lebih dari 100 ribu anak telah mati karena kelaparan. Selama beberapa pekan terakhir, PBB telah berusaha untuk menengahi sebuah kesepakatan dalam upaya untuk mencegah serangan itu. Serangan dikhawatirkan akan semakin menghambat akses terhadap bantuan makanan, bahan bakar, dan obat-obatan. Hal itu akan semakin memperburuk krisis kemanusiaan di Yaman.
Kepala serikat nelayan Hodeidah, Mohamed al-Hasni, mengatakan tidak ada target militer di daerah itu dan penargetan nelayan seharusnya tidak terjadi. "Pelabuhan dan pasar penuh dengan orang. Itu adalah pembantaian. Tidak ada kehadiran militer di daerah itu. Tidak ada orang bersenjata sama sekali. Penargetan itu bertujuan untuk menyebarkan ketakutan dan teror," katanya.
Fatik al-Rodaini, seorang pekerja amal di Mona Relief, sebuah kelompok bantuan yang beroperasi di daerah-daerah yang sulit dijangkau di negara itu, mengatakan dua warga sipil ikut menjadi korban tewas.
Kolonel Turki al-Malki, juru bicara aliansi itu, mengatakan kepada kantor berita Al Arabiya bahwa mereka tidak melakukan serangan. Kampanye militernya mengikuti pendekatan yang ketat dan transparan berdasarkan aturan hukum internasional. Namun, pada Juni saja, Saudi dan UEA melakukan setidaknya 258 serangan udara di Yaman, hampir sepertiga dari yang ditargetkan situs nonmiliter.
Proyek Data Yaman mencatat 24 serangan udara di wilayah permukiman, tiga di lokasi air dan listrik, tiga sasaran menyerang fasilitas kesehatan, dan satu menargetkan kamp IDP. Juru bicara aliansi Saudi-UAE tidak menanggapi permintaan untuk berkomentar.
Sementara itu, Martin Griffiths, utusan khusus PBB untuk Yaman, mengumumkan pada Kamis bahwa ia mengundang pihak-pihak yang bertikai untuk berunding di kota Jenewa, Swiss. Hal itu sebagai upaya terakhir untuk mengakhiri perang.
Griffiths memperingatkan bahwa situasi jutaan warga sipil Yaman dapat memburuk jika solusi tidak tercapai dalam waktu terdekat. "Sudah dua tahun sejak putaran terakhir di Kuwait sehingga pesan utama saya dan permintaan ke dewan hari ini adalah bahwa kami mendesak partai-partai untuk menyelesaikan konflik ini melalui negosiasi daripada melalui cara militer," katanya.
Baca: AS dan Turki Selesaikan Konflik Lewat Dialog