REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Ketika Berivan Halo mengingat kembali hari pernikahannya, ia tidak ingat gaunnya, perayaan atau bahkan makanannya. Ia hanya mengingat nasib malang yang menimpanya.
Ia berpikir tentang bagaimana hal itu hampir tidak terjadi. Sebagai anggota minoritas etnis Yazidi Irak dan berusia 16 tahun pada saat itu, pernikahannya kala itu begitu rumit.
Berivan dan tunangannya saat itu, Ameen Shakeer Faris, telah berpacaran selama dua tahun, tetapi membutuhkan restu keluarga mereka untuk menikah. Negosiasi berlangsung selama seminggu. Akhirnya, hari bahagia mereka dirayakan dengan pesta besar.
Empat tahun lalu, kehidupan Berivan berubah selamanya di tangan kelompok Negara Islam (ISIS) ketika ia dan keluarganya diculik. Mereka tetap bersama di dalam penahanan selama sembilan bulan, sebelum para militan memisahkan laki-laki dan perempuan.
Sejak saat itu, ia tak lagi melihat suaminya. "Yang saya pikirkan adalah bagaimana ia tak bersama saya lagi, yang bisa saya lakukan untuknya adalah merawat anak-anaknya sebaik mungkin," kata Berivan.
"Ada lubang yang sangat besar dalam hidup kami ... tapi saya berusaha melakukan yang terbaik untuk menjadi ayah dan ibu pada saat yang bersamaan."
Berivan berusia 24 tahun dan hamil pada saat ia diculik. Ia akhirnya melarikan diri, setelah dijadikan sebagai budak seks selama 25 bulan, dipukuli dan diperkosa berulang kali bersama sekitar 10 ribu warga Yazidi lainnya.
Meski mengalami pelecehan seksual yang mengerikan, Berivan menganggap dirinya sebagai salah satu yang beruntung. Militan ISIS membunuh paman dan saudara iparnya, dan menahan 22 dari anggota keluarganya di tempat penahanan.
Sel teroris itu bertanggung jawab atas genosida di tanah leluhur Yazidi, Sinjar, Irak utara, di mana ribuan perempuan dan anak perempuan diculik, dijual menjadi budak dan berulang kali disiksa. Beberapa diiklankan pada aplikasi pengiriman pesan terenkripsi layaknya komoditas.
Dalam enam bulan terakhir dari penahanannya, Berivan dipisahkan dari dua dari empat anaknya, seorang bocah laki-laki dan perempuan, yang akan dijual ke pasar budak ISIS. "Semuanya berubah sejak saat itu," katanya.
"Hidup kami sejak saat itu hanyalah kesedihan dan tangisan."
Taksiran korban bervariasi, namun, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) percaya bahwa "400 ribu anggota komunitas yang solid semuanya telah mengungsi, ditangkap atau dibunuh".
Berivan dan anak-anaknya selamat, dan, sejak Mei, telah tinggal di Coffs Harbour di pantai utara New South Wales, Australia. Meskipun bebas dari siksaan fisik ISIS, ia mengatakan dirinya khawatir atas mereka yang masih hilang, terutama para perempuan.
"Seorang gadis mungkin diperkosa 10 kali sehari oleh laki-laki yang berbeda, saya sudah melalui semua itu, tidak ada yang tidak mereka lakukan pada kami," katanya.
"Tidak masalah kalau kami dibunuh atau ditangkap atau kami dipenjarakan atau kami disiksa, hal yang paling sulit bagi perempuan Yazidi adalah dijual sebagai budak seksual."
Tanah leluhur komunitas Yazidi berbatasan dengan Suriah, dan agama mereka menggabungkan aspek-aspek Islam, Kristen dan Yudaisme, di antara agama-agama lain. Kelompok minoritas ini telah dijuluki "penyembah iblis" dan musyrik oleh militan ISIS.
Berivan menentang, tetapi frustrasi. "Tidak apa-apa bagi saya untuk berbicara tentang segala hal, yang kami inginkan adalah menyuarakan suara kami kepada orang lain, ke bagian lain dunia," katanya.
Tetapi kadang-kadang ia merasa tidak ada orang yang mendengarkan.
Pada akhir tahun lalu, kelompok Yazidi memperkirakan sekitar 3.000 perempuan, anak perempuan dan anak-anak masih belum diketahui keberadaannya. Keterbukaan Berivan untuk berbagi masa lalunya yang mengerikan adalah karakter yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan Yazidi yang telah bermukim kembali di seluruh Australia.
"Jika kami tidak sangat kuat dan jika kami bukan orang kuat, kami tidak akan bertahan seperti itu, kami tidak akan berdiri sekarang dengan energi dan kekuatan ini," kata Berivan.
Coffs Harbour kini memiliki lebih dari 80 keluarga Yazidi yang tinggal di wilayahnya, sebagian besar telah tiba dalam 15 bulan terakhir. Minggu ini, komunitas tersebut akan berkumpul di Aula Girl Guides Coffs Harbour untuk menandai ulang tahun keempat pembantaian tersebut. Banyak dari mereka memiliki kisah yang memilukan.
Selama Agustus 2014, puluhan ribu warga Yazidi melarikan diri ke Gunung Sinjar, di mana ISIS mengepung mereka. Pasukan Australia bergabung dengan AS, Irak, Inggris dan Perancis dalam menyalurkan pasokan, sampai pejuang Kurdi yang didukung AS akhirnya membuka celah untuk menyelamatkan mereka.
Mereka adalah beberapa orang yang beruntung. Anak-anak Yazidi dipaksa untuk bertarung dengan para ekstremis, atau dieksekusi dengan para pria. Setidaknya 54 kuburan massal telah ditemukan di daerah Sinjar.
Tak menyerah
Meski kesedihan menyelimuti sebagian besar keluarganya, Berivan mengatakan pindah ke Australia adalah keputusan yang tepat demi anak-anaknya. "Saya pikir mereka sedang dalam proses penyembuhan," katanya.
"Meskipun mereka memiliki banyak kesedihan dan masa-masa sulit, saya berharap itu akan mengubah kebahagiaan di masa depan mereka dan itu membuat saya sedikit lebih bahagia."
Berivan belajar bahasa Inggris, dan mengatakan ia merasa didukung oleh layanan lokal. "Saat ini saya tidak memiliki apa pun untuk ditawarkan kepada mereka, semua yang saya miliki adalah rasa hormat saya kepada mereka dan saya tidak pernah terpikir saya akan bisa membayar kembali apa yang telah mereka lakukan untuk kami," katanya.
"Saya berharap suatu hari nanti, saya menjadi orang yang aktif di komunitas ini dan negara ini, untuk membalas setidaknya sedikit dari apa yang telah mereka lakukan untuk kami."
Tapi sekarang, fokusnya ada pada komunitas Yazidi, dan hari jadi perkawinan yang kelam. Akan ada kamar terpisah untuk orang dewasa dan anak-anak, di mana keluarga akan membawa foto orang yang mereka cintai, lilin dan berbagi cerita.
"Anda bisa duduk bersama kami dan Anda menghabiskan berjam-jam untuk berbicara, itu tidak pernah berakhir karena apa yang telah kami alami," kata Berivan.
Berivan akan membawa tujuh foto anggota keluarganya yang tertangkap, termasuk suaminya. "Sampai saat terakhir hidup saya, saya tidak akan pernah berhenti berharap bahwa saya akan melihat mereka," katanya.
"Saya tidak tahu apa-apa, saya tidak pernah mendengar apa pun tentang mereka, tapi saya tidak akan menyerah."
Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.