REPUBLIKA.CO.ID, KOPENHAGEN -- Seorang Muslimah bercadar menjadi orang pertama di Denmark yang didenda karena mengenakan cadar di depan umum. Larangan menggunakan cadar di publik sudah diberlakukan sejakRabu pekan ini di negara Skandinavia tersebut.
Media setempat melaporkan seorang wanita berusia 28 tahun pada Jumat (3/8) didenda setelah terlibat pertengkaran dengan seorang wanita yang berusaha melepaskan cadar wanita berhijab itu, dilansir di BBC, Sabtu (4/8). Polisi mengatakan mereka dipanggil dan ketika mereka meninjau CCTV, memberi tahu wanita itu bahwa dia akan dituntut jika dia menolak melepas cadarnya.
Undang-undang baru telah memprovokasi protes dan kritik dari kelompok-kelompok hak asasi manusia. Undang-undang ini secara resmi diperkenalkan pada hari Rabu (1/8) setelah disahkan di parlemen Denmark awal tahun ini.
Meskipun tidak menyebutkan burka dan niqab dengan nama, tetapi aturan menyebut 'siapa saja yang memakai pakaian yang menyembunyikan wajah di depan umum akan dihukum dengan denda'. Pada hari Rabu malam, para demonstran berkumpul di ibu kota untuk berdemonstrasi menentang hukum, dengan para wanita dalam burqa dan cadar tradisional berdiri berdampingan dengan orang-orang dengan penutup darurat.
Insiden hari Jumat dilaporkan terjadi di pusat perbelanjaan di Horsholm, berlokasi 25 km utara Kopenhagen. Polisi mengatakan kepada media setempat bahwa mereka dipanggil ke pusat perbelanjaan setelah perkelahian pecah. Mereka mengatakan kedua wanita itu dituduh melanggar perdamaian dan mengatakan bahwa satu orang juga dituduh melanggar hukum cadar.
Wanita bercadar diberi denda 1.000 kroner (Rp 1,75 juta) setelah menolak untuk melepaskan cadarnya atas permintaan mereka. Beberapa wanita Muslim mengatakan mereka tidak akan mematuhi hukum yang dendanya sebesar 10 ribu kroner (Rp 17,5 juta) untuk pelanggar aturan berkali-kali.
Human Rights Watch telah menyebut larangan ini "diskriminatif" dan mengatakan itu adalah terbaru dalam tren berbahaya. Tahun lalu, Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa memberlakukan larangan Belgia serupa, dengan mengatakan bahwa harmoni komunal mengungguli hak individu untuk berekspresi religius. Larangan penuh atau sebagian juga berlaku di Prancis, Austria, Bulgaria, dan negara bagian Bavaria di Jerman.