REPUBLIKA.CO.ID, KULONPROGO -- Angka perwakinan usia anak di Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta, masih tinggi. Padahal, Pemkab Kulonprogo sudah mengeluarkan Peraturan Bupati Kulonprogo Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan Perkawinan pada Usia Anak.
Sesuai perbup, perkawinan usia anak merupakan perkawinan yang dilakukan pria dan perempuan yang salah satu atau keduanya belum berusia 18 tahun. Namun, hingga Juli 2018, tercatat 23 pasangan perkawinan usia anak di Kabupaten Kulonprogo.
Jumlah itu terpaut 13 angka dari jumlah perkawinan usia anak tahun lalu yang mencapai 36 pasangan. Dari angka itu, 29 anak sudah mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD).
Selain itu, tujuh pasang belum hamil dengan alasan desakan orang tua atau mengikuti calon suami yang akan keluar daerah. Itu merupakan kasus yang cukup besar untuk perkawinan usia anak.
Atas kondisi tersebut, Kepala Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak Kabupaten Kulonprogo Eka Pranyata mengatakan akan ada aksi untuk melakukan pencegahan perkawinan usia anak. Akasi yang dilakukan, yakni sosialisasi kepada Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan masyarakat.
Sosialisasi diutamakan tentang hak dasar anak, dan dampak perkawinan usia anak. Melalui Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Pemkab Kulonprogo melakukan pendampingan psikologi bagi calon pengantin anak sebagai referensi pengadilan agama untuk memutuskan perkawinan anak.
Menikah di usia anak membutuhkan kesiapan, baik kematangan mental, sosial, dan ekonomi agar terhindar dari perceraian serta menjadi keluarga sakinah mawadah warohmah.
Selain itu, P2TP2A Kulonprogo juga akan melakukan kunjungan untuk keluarga muda yang melakukan perkawinan usia anak. Itu menjadi cara meningkatkan jejaring untuk meningkatkan kepedulian terhadap pencegahan perkawinan usia anak.
Dinsos Kulon Progo juga mengarahkan agar setiap pasangan perkawinan usia anak mendapat syarat-syarat khusus. Utamanya, mendapat pendampingan psikologi di Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A). "Sebagai referensi dari perlindungan anak untuk memutuskan pernikahan anak bisa di lanjut atau tidak," kata Eka.
Eka menerangkan, anak memiliki hak-hak dasar seperti hak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang. "Lalu hak untuk terlindungi dari pengaruh buruk penyiksaan dan eksploitasi, berpartisipasi secara optimasi dalam lingkup keluarga, kehidupan sosial dan budaya," kata Eka.
Karena itu, Eka menekankan, tujuan kebijakan pencegahan perkawainan usia anak untuk menjamin terpenuhi hak dasar anak, mewujudkan perlindungan anak, mewujudkan peran serta pemerintah, masyarakat, orang tua, dan anak dalam mencegah perkawinan pada usia anak. Perkawinan usia anak, baik paksa maupun sukarela, merupakan salah satu bentuk kekerasan pada anak.
Belum lagi, menikah di usia anak membutuhkan kesiapan, baik kematangan mental, sosial, dan ekonomi. Semua itu agar terhindar dari perceraian serta menjadi keluarga sakinah mawadah warohmah.
"Mewujudkan keluarga yang harmonis, meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup ibu dan anak, mencegah tindakan KDRT, menurunkan angka kemiskinan, dan menurunkan angka kematian ibu dan anak," ujar Eka.