REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mengakui kinerja perdagangan belum optimal di mana hingga semester pertama 2018 neraca perdagangan masih defisit. Neraca perdagangan Indonesia sepanjang semester satu 2018 tercatat masih defisit 1,02 miliar dolar AS.
"Kinerja perdagangan kita bisa dibilang kurang menggairahkan. Dari enam bulan pertama, empat bulan masih isinya defisit," kata Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan dalam acara Gathering Eksportir Indonesia Fasilitas Fiskal untuk Peningkatan Ekspor Nasional di Kantor Pusat Ditjen Bea Cukai Jakarta, Selasa (7/8).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus 1,74 miliar dolar AS pada Juni 2018. Namun, neraca perdagangan Indonesia sepanjang semester satu 2018 tercatat masih defisit 1,02 miliar dolar AS, dibanding semester satu 2017 yang mencatat surplus besar mencapai 7,66 miliar dolar AS.
Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari-Juni 2018 mencapai 88,02 miliar dolar AS. Pencapaian tersebut meningkat 10,03 persen dibanding periode yang sama tahun 2017 80 miliar dolar AS.
Baca juga, Pemerintah Bentuk Satgas Atasi Defisit Neraca Perdagangan
Oke menuturkan performa ekspor memang masih perlu terus ditingkatkan terutama pergeseran dari produk ekspor berbasis sumber daya alam menjadi produk ekspor manufaktur. Menurutnya, selama lima dekade terakhir, ekspor masih didominasi produk-produk primer atau berbasis sumber daya alam.
"Kalau terjadi surplus perdagangan, itu hanya karena nilai komoditasnya saja yang naik. Bukan bergeser dari primer ke manufaktur atau produk yang bernilai tambah tinggi. Itu harus kita geser, jangan produk primer saja yang diekspor," kata Oke.
Oke menyebutkan saat ini struktur permintaan pasar dunia sebanyak 81 persen adalah produk manufaktur, dan sisanya 19 persen produk primer. "Jadi kalau kita masih ekspor produk primer, berarti kita belum memanfaatkan permintaan yang tinggi sekali dari dunia untuk produk manufaktur. Ekspor kita sekarang 53 persen manufaktur, 47 persen primer," ujar Oke.
Kendati demikian, lanjut Oke, ia mengatakan pihaknya juga mengalami dilema. Di satu sisi pihaknya diminta untuk meningkatkan porsi ekspor produk manufaktur, namun di sisi lain produk manufaktur sendiri membutuhkan bahan baku penolong untuk memberi nilai tambah produknya, yang didapatkan dari impor.
"Kami didorong meningkatkan ekspor manufaktur, tapi barangnya itu tergantung dari bahan baku penolong yang diimpor. Karena begitu saya dorong untuk tingkatkan ekspor manufaktur, maka otomatis impornya meningkat karena produk manufaktur itu sangat tergantung dari bahan baku penolongnya," kata Oke.