Selasa 07 Aug 2018 15:22 WIB

Tiga Bentuk Kesusastraan Islam Melayu

petuah-petuah Islam dalam bentuk kesenian bahasa begitu dinikmati masyarakat Melayu.

Pantun/ilustrasi
Foto: http://nettik.net
Pantun/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islamisasi Nusantara menghasilkan produk budaya sebagai bentuk integral peradaban yang kental dengan prinsip dan dasar-dasar keislaman. Di antara produk budaya tersebut adalah adanya kesusastraan Islam Melayu.

Kesusastraan mengalami perkembangan pesat terutama pada abad ke-16 hingga ke-17 ketika kerajaan-kerajaan Islam masih berkuasa.

Selain merupakan sarana yang efektif dalam mengungkapkan nilai-nilai agama Islam dan pengalaman mistik, sudah sejak lama orang Melayu sebagai bangsa di bumi Nusantara menyukai pengucapan puitis dalam menyampaikan gagasan dalam bentuk kesenian bahasa.

Sehingga, petuah-petuah Islam dalam bentuk kesenian bahasa begitu dinikmati masyarakat Melayu. Berikut ini tiga contoh bentuk kesusastraan Islam yang cukup mengakar dalam sejarah dan tradisi masyarakat Muslim Melayu:

Pantun

Pantun adalah puisi empat baris yang terdiri dari sampiran dan isi. Setiap baris pada umumnya terdiri dari delapan hingga 12 suku kata, dengan pola sajak akhir AAAA atau ABAB.

Sampiran biasanya melukiskan lingkungan alam dan budaya orang Melayu, sedangkan isi memuat maksud atau pesan moral yang ingin disampaikan. Penjelasan antara sampiran dan isi terletak pada persamaan atau kemiripan bunyi setiap kata yang digunakan.

Pantun yang tertulis paling awal dijumpai berasal dari abad ke-16 dalam naskah tasawuf Asrar al-Arifin karangan Hamzah al-Fansuri.

Gurindram

Secara subtansial, gurindram telah dikenal sejak abad ke-13. Namun, artikulasi dan definisinya benar-benar terbangun pada abad ke-19. Pada mulanya, gurindram berarti perumpamaan secara umum yang biasanya berisi nasihat, ejekan, dan sindirian.

Menurut Raja Ali Haji dalam Bustan al-Katibin (abad ke-19), gurindram adalah perkataan bersajak pada masing-masing pasangan, akan tetapi perkataannya baru lengkap jika diikuiti oleh  pasangannya. Keindahan yang bermakna dalam karya sastra harus memberi faedah. Dengan perkataan lain estetika terkait dengan etika.

Syair

Syair adalah sajak empat baris, biasanya dengan pola bunyi akhir AAAA, tetapi ada juga yang pola bunyinya akhirnya ABAB, AABB, AABC, dan AABA. Jumlah suku kata di setiap baris pada umumnya antara delapan sampai 12.

Pada mulanya syair digunakan untuk menyampaikan ajaran tasawuf atau ilmu suluk. Tetapi, syair juga dipakai sebagai media menyampaikan kisah percintaan, sejarah, hikayat, dan lain-lain.

sumber : Islam Digest Republika
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement