REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Achmad Syalaby Ichsan
JAKARTA -- Di kelas itu, Rizki Fitria Aryani (9 tahun) tampak serius dengan objek di atas meja. Gadis kurus berkulit legam itu mem beri ragam warna kertas bergambar tokoh kartun dengan krayon. Rizki berupaya betul agar goretan krayonnya tidak melebihi garis batas.
Di dekat Rizki, tampak gadis yang punya tubuh lebih tinggi. Namanya Sheila (11 tahun). Sesekali, gadis berjilbab putih itu coba membimbingnya agar gam bar itu mempunyai komposisi yang tepat. Sebagai kakak kandung Rizki, Sheila tak ingin karya adiknya berantakan.
Kakak-beradik itu menjadi bagian dari anak-anak yang kerap belajar di Rumah Langit. Sebanyak 20-an anak ikut belajar pada siang itu. Rumah Langit, yang berlokasi di Jalan Masjid Al Bariyah No 63 A RT 04/RW01, Jakarta, menjadi tempat belajar dan rumah singgah bagi anak-anak pemulung yang tinggal sekitar 200 meter dari sana. Saban hari, mereka be lajar pada pukul 13.00 WIB-16.00 WIB.
Pada Senin itu misalnya. Sebelum mewarnai, mereka belajar matematika. "Ini kita baru kasih kuis," ujar Winona Syifa, Ketua Yayasan Rumah Langit kepada Republika beberapa waktu lalu.
Setiap hari, Anak-Anak Langit, sebutan bagi anak yang belajar di Rumah Langit akan mendapatkan materi berbeda. Selain matematika, mereka akan belajar bahasa Inggris, sains, kese nian, hingga seni dan budaya. Mereka juga dididik untuk berdoa dan mengaji bersama. Setelah belajar, anak-anak dan kakak-kakak (para pengajar) akan menjalani ritual makan sore bersama. Setiap hari, menunya berganti mulai soto ayam, nasi goreng, mi goreng, tumis kangkung, telur dadar dan sebagainya.
Anak-anak itu belajar tanpa dipungut biaya. Ritual makan sore juga sepenuhnya ditanggung Ru mah Langit. Nona, sapaan akrab Winona menjelaskan, semua biaya operasional Rumah Langit ditopang para donatur dari berbagai profesi. Mereka memberikan donasi dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah setiap bulan.
Nona mengaku kerap diingatkan bapaknya untuk berhati-hati dalam meng gunakan uang tersebut. Seberapa kecil pun pengeluaran Rumah Langit pasti dicatat dan dimasukkan ke dalam laporan yang akan diserahkan kepada para donatur. "Beli bumbu seribu saja kita catat," kata dia.
Rumah Langit.
Anak-anak pemulung
Nona merintis Rumah Langit bersama orang tuanya sejak dua tahun lalu. Nona heran melihat banyak anak yang berkeliaran ketika jam sekolah. Juara Pemuda Pelopor tingkat kecamatan itu lantas berkonsultasi dengan bapak dan ibunya. Mereka sepakat untuk membangun sebuah tempat bimbingan belajar di dekat komplek pemulung.
Yusar Mikail dan Nurwina Indrasari menyetujui usulan anaknya. Meski sekolah negeri dikatakan gratis, banyak diantara mereka yang tidak bisa masuk sekolah karena masalah administrasi. “Banyak yang enggak punya akta kelahiran, bapaknya juga enggak ada KTP,”kata dia.
Melati (bukan nama sebenarnya) salah satunya. Dia tak punya surat keterangan lahir karena dilahirkan di kampung. Ayahnya, Sagio, salah satu penghuni komplek pemulung, tak punya biaya untuk membawanya ke bidan. Melati yang lahir berkat bantuan Paraji itu pun tidak diberikan surat keterangan lahir. “Semuanya (anak Sagio) lahir di Paraji,”kata Sagio saat berbincang dengan Republika belum lama ini.
Melati tak bisa memiliki akta kelahiran. Namanya juga tak masuk dalam kartu keluarga (KK) Sagio. Dia dianggap tidak memenuhi syarat administrasi untuk masuk ke sekolah negeri. Melati yang seharusnya sudah duduk di kelas enam SD ini belum bisa menikmati bangku sekolah formal.
Kondisi ini semakin pelik ketika Melati dan puluhan anak lain harus hidup di komplek pemulung. Tercatat, setidaknya ada 50 bedeng disana. Setiap bedeng diisi satu keluarga. Banyak diantaranya yang tidak sekolah.
Tinggal di bedeng membuat banyak anak pemulung sulit untuk belajar, beristirahat atau sekadar bercengkerama. Terlebih, Melati memilih untuk membantu keluarganya mencari uang. Dia menjadi buruh paruh waktu di Pasar Induk, Kramat Jati. Melati bertugas untuk mengupas bawang. Masa kecil gadis itu pun berlalu dengan cepat.
Namun, Melati tetap ingin merasakan suasana belajar mengajar layaknya teman-teman seusianya. Di komplek pemulung itu, memang masih ada beberapa anak tetangga yang tak memiliki permasalahan administrasi. Mereka bisa masuk sekolah negeri gratis. Tak ingin tertinggal, Melati lantas belajar di Rumah Langit dan Taman Pendidikan Alquran (TPA).
Data yang dilansir dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan (Kemendikbud) menunjukkan, masih ada pelajar putus sekolah di Jakarta untuk tahun ajaran 2016-2017. Sebanyak 982 orang setingkat SD, ada 1080 anak setingkat SMP dan 606 anak tingkat SMA. Anak-anak di komplek pemulung itu masuk diantaranya.
Rumah Langit.
Membangun mimpi
Ada yang mencolok di ruang keluarga Rumah Langit. Poster raksasa replika SD Muhammadiyah Gentong tertempel disana. Sebuah sekolah yang melegenda karena novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Di sekolah itu, anak-anak kampung miskin macam Lintar dan Ikal (tokoh Laskar Pelangi) merajut mimpinya untuk memperbaiki nasib.
Bukan tanpa alasan Yusar menempel poster itu. Dia sadar mimpi harus digapai setinggi mungkin. Kisah Ikal yang bisa melanglang buana hingga ke Universitas Sorbonne, Prancis, diharapkan mampu membuat anak-anak pemulung dan kakak-kakak langit termotivasi.
Ketika duduk di bangku sekolah, Yusar pernah merasakan iklim studi di luar negeri. Dia pernah terpilih ikut program American Field Service (AFS). Ketika itu, lulusan Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) ini tinggal di New Zealand. “Saya pun bisa meraih itu. Gratis. Anak-anak ini pasti bisa,”kata dia.
Rumah Langit dibangun dengan nilai-nilai keluarga. Keluarga Yusar ingin menularkan kehangatan dirumahnya kepada anak-anak dari komplek pemulung. Adanya mahasiswa yang menjadi pengajar diharap Yusar menjadi panutan bagi Anak-Anak Langit.
Salah satu nilai dasar yang diajarkan saat berada di meja makan. Yusar menjelaskan, mereka dididik makan dengan tertib dan tidak ribut. Mereka juga diminta untuk menghabiskan makanan sampai tidak bersisa. “Ini mengajarkan disiplin.”
Anak-Anak Langit juga menjadikan kakak-kakaknya sebagai tumpuan curahan hati. Dian, salah satu relawan, mengaku kerap menjadi pendengar setia segala macam cerita mereka. Sesi ini berlangsung setiap hari belajar. “Dari sedih sampai senang,”kata dia.
Mendongeng menjadi sesi favorit lain yang ditunggu. Dari kakak-kakaknya, anak-anak itu membayangkan bagaimana sang kancil hingga putri kerajaan menjadi tampak nyata. Petualangan Yusar di luar negeri pun kerap menjadi kisah menarik bagi anak dan kakak langit.
Yusar ingin Rumah Langit yang didirikan pada 5 Desember 2016 ini dapat menjadi semacam persinggahan bagi anak pemulung di tengah hidupnya yang sulit. Bagi Yusar, mereka harus tetap semangat sekolah dan meraih masa depan.
Saat ini, ada lebih dari 80 anak yang terdaftar di Rumah Langit. Mereka datang dari beragam usia mulai 6 tahun hingga 12 tahun. Mereka diajar mahasiswa dari beragam jurusan seperti bahasa Inggris, informasi dan teknologi, teknik, hingga sejarah. Kakak-kakak langit itu datang tanpa dibayar.
Meski demikian, tingkat kehadiran kakak langit dan anak langit di komunitas yang baru saja menjadi yayasan itu fluktuatif."Kadang-kadang bisa ramai. Kalau lagi sepi ya sepi," ujar Yusar.
Namun, Yusar tak patah arang. Pengurus Rumah Langit menggagas program-program inovatif yang dibantu komunitas kampus. Merekamengadakan pelatihan mural, outing, mendongeng, hingga pelatihan fotografi.
Yusar juga membuat pelatihan gratis bagi Kakak Langit. Mereka bisa ikut pelatihan teknologi informasi dari perusahaan rintisan asal Amerika Serikat, Oregon. Perusahaan yang dimiliki teman Yusar itu berkenan untuk menyertakan mereka ke dalam pelatihan jarak jauh selama enam bulan.
Para pengurus Rumah Langit pun merajut kembali mimpi-mimpinya bersama adik-adik itu. Rumah Langit mulai berani membidik target. Mereka ingin agar Anak-Anak Langit yang sudah duduk di sekolah formal bisa berprestasi. Rumah Langit juga mendorong anak putus sekolah untuk masuk sekolah melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).