Selasa 07 Aug 2018 23:58 WIB

Kalah di WTO, Indonesia Harusnya Bersiap Sejak Lama

Seharusnya Indonesia perkuat kapasitas petani dan turunkan tarif Impor

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Produk hortikultura
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Produk hortikultura

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia jelas melakukan pelanggaran perdagangan internasional dengan melarang komoditas tertentu masuk ke tanah air. Sejak 2016, pengajuan sikap Indonesia tersebut telah diajukan ke World Trade Organization (WTO) dan ditetapkan kalah pada 2017.

Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal mengatakan, sejak kalah dari WTO pada 2017, Indonesia sempat melakukan banding dan lainnya namun Amerika Serikat (AS) saat ini mengajukan kompensasi kerugian. Sebenarnya ada banyak negara yang menggugat Indonesia di WTO terkait hal itu.

"Tindakan proteksi yang berlebihan tentunya sebuah hal yang tidak sesuai dengan pakem perdagangan internasional," katanya kepada Republika.co.id, Selasa (7/8).

Meski banyak negara yang tidak bisa melepas adanya ketetapan tarif untuk produk impor. Namun, semua tergantung dari pihak-pihak yang berkepentingan.

Dalam hal ini, AS menilai Indonesia merugikan produk-produknya karena untuk masuk ke pasar Indonesia diperlukan tarif yang tinggi.

Sebenarnya sejak adanya gugatan dua tahun lalu di WTO, Indonesia seharusnya sudah bersiap. Dalam arti akan ada kemungkinan terburuk Indonesia akan kalah karena memang posisinya jauh lebih lemah dari pengaruh di WTO maupun dari sisi kebijakannya. Kebijakan pelarangan impor produk hortikultura sangat bertentangan dengan perdagangan internasional.

"Dalam konteks ini harusnya Indonesia sudah mulai melakukan persiapan, sudah menurunkan tarifnya, sementara meningkatkan kapasitas petaninya," katanya.

Ia menambahkan, sikap proteksi yang diambil Indonesia ini dilakukan karena petani yang kurang berdaya saing. Kualitas produk hortikuktura juga masih dianggap kalah dari AS maupun Selandia Baru, sebagai negara penggugat kebijakan Indonesia.

Hal itu membuat adanya proteksi guna melindungi petani. Apalagi, nilai tukar petani Indonesia dalam beberapa tahun terakhir terus mengalami penurunan. 

Hal tersebut seharusnya sudah dibaca pemerintah sejak beberapa tahun lalu dan mulai melakukan revitalisasi di sektor pertanian. Diakui Fithra, pemerintah saat ini sudah melakukan berbagai cara untuk revitalisasi namun masih diperlukan waktu panjang untuk membuat petani tanah air mampu berdaya saing.

"Sehingga yang perlu dilakukan pemerintah sekarang adalah negosiasi lagi dengan AS," tegas dia.

Negosiasi yang dilakukan harus melalui dua level, yakni multilateral di WTO dan secara bilateral dengan AS.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement