REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Duta Besar Republik Indonesia Hasan Kleib menjelaskan persoalan terkait isu yang tengah menjadi bahasan di berbagai media di Indonesia. Melalui siaran pers yang dibuatnya, ia menjelaskan kronologi sengketa Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) dan Selandia Baru (SB) atas kebijakan importasi hortikultura, hewan dan produk hewan.
Pada (2/8), delegasi AS untuk WTO mengirimkan surat kepada Ketua DSB WTO. Isinya, meminta diselenggarakannya pertemuan DSB guna membahas permintaan otorisasi bagi AS agar dapat menangguhkan (suspend) pemberian konsesi tarif dan/atau kewajiban lainnya kepada Indonesia.
Hitungannya, per tahun menyesuaikan dengan jumlah kerugiaan yang dialami oleh dunia usaha pada negara AS. "Jika dihitung dari awal, jumlah kerugiaan yang dialami dunia usaha AS di tahun 2017 sebagai dampak kebijakan importasi RI di bidang holtikultura, hewan dan produk hewan adalah sebesar 350 juta juta dolar AS," ujar Hasan dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id, Selasa (7/8).
Kemudian, permintaan otorisasi oleh AS didasarkan pada pendapat mereka, bahwa RI belum sepenuhnya mematuhi keputusan Panel DSB pada 22 November 2017. Dalam keputusannya yang meminta RI mengubah sejumlah kebijakan di bidang importasi hortikultura, hewan, dan produk hewan.
"Permintaan otorisasi AS tentunya harus disepakati terlebih dahulu oleh Sidang DSB dan RI bisa kembali jelaskan berbagai perubahan/revisi peraturan RI terkait yang telah dilaksanakan sesuai dengan keputusan Panel DSB," ujarnya.
Baca juga, Perang Dagang AS-Cina dan Runtuhnya Masa Depan WTO.
Sengketa pertama kali di bahas di DSB melalui konsultasi RI dengan kedua negara pada 8 Mei 2014. Namun karena tidak ada titik temu atau kesepakatan yang pasti, maka AS dan SB meminta pembentukan Panel DSB.
Ketika Panel DSB pada 22 Desember 2016 mengeluarkan hasil akhir yang memenangkan tuntutan AS dan SB, RI telah melakukan appeal pada 17 Februari 2017 ke Appellate Body.
Namun, keputusan Appellate Body pada 9 November 2017 memerkuat keputusan Panel dan RI yang diminta mengubah kebijakan-kebijakan importasi sesuai yang disengketakan oleh AS dan SB. "Keputusan Appellate Body dan Panel diadopsi DSB WTO tanggal 22 November 2017," kata dia.
Oleh karenanya, sesuai kesepakatan antara RI dan AS dan SB, maka disepakati Reasonable Period of Time (RPT) untuk merevisi kebijakan-kebijakan tersebut dalam berbagai peraturan importasi. Hal itu, kata dia, adalah 8 bulan terhitung tanggal disahkannya report Appellate Body dan Panel yaitu pada 22 November 2017 atau jatuh tempo 22 Juli 2018.
"Sebenarnya sesuai dengan kesepakatan RPT, RI telah melakukan revisi-revisi berbagai kebijakan importasi terkait sesuai yang disengketakan dan sejalan dengan ketentuan WTO," ujar Hasan.
Kendati demikian, pihak AS masih melihat ada beberapa yang belum sesuai. Oleh karenanya, meminta diadakan sidang DSB sesuai permintaan AS pada 2 Agustus 2018 tersebut.
RI tentunya akan kembali menjelaskan berbagai perubahan (revisi berbagai peraturan importasi) yang telah dilakukan sejak adanya keputusan akhir Panel dan Appellate Body WTO. Sebagaimana dimaklumi, sesuai dengan mandatnya DSB WTO menangani banyak sekali sengketa dagang antar negara anggota WTO dan prosesnya cukup panjang sekitar 4-5 tahun.
"Setiap keputusan Panel mengikat dan meminta negara yg disengketakan (respondant) merubah kebijakannya sesuai yg dimintakan oleh pihak yang mengajukan sengketa (complainant)," tutupnya.