REPUBLIKA.CO.ID, MICHIGAN -- Rashida Tlaib (42 tahun) bersiap mengukir sejarah baru. Ia hampir dipastikan menjadi wanita Muslim Palestina-Amerika pertama yang akan duduk di Kongres Amerika Serikat (AS).
Tlaib mengikuti pemilu Kongres di distrik 13 Michigan. Distrik tersebut dikenal sangat dikuasai Partai Demokrat, partai yang juga menjadi tempat Tlaib mengabdi. Tidak ada kandidat Partai Republik yang mencalonkan diri untuk berkontestasi dengan Tlaib di sana.
Hal itu tentu menjadi keuntungan tersendiri bagi Tlaib. Kendati demikian, bukan berarti ia tak memiliki pesaing. Dalam perebutan kursi Kongres, Tlaib harus berlomba dengan kandidat yang cukup kuat yakni Presiden Dewan Kota Detroit Brenda Jones.
Meski harus bersaing ketat, namun Tlaib tetap optimistis. Sebab ia telah cukup gencar berkampanye di akar rumput dan menemui para pendukungnya. Menurutnya, cukup banyak dari pendukungnya yang bersimpati dan terinspirasi olehnya.
"Sungguh luar biasa berinteraksi dengan para keluarga di lokasi pemungutan suara. Saya merasa sangat didukung," ujar Tlaib, seperti dikutip laman the Independent.
Kepercayaan diri Tlaib pun terbayar. Setelah hampir semua surat suara dihitung pada Selasa (7/8), Tlaib memperoleh suara sebesar 33,2 persen. Sementara Jones meraih 29,2 persen suara. Dengan tidak adanya kandidat Republik yang mencalonkan diri di distrik tersebut, Tlaib akan memasuki Kongres tanpa perlawanan setelah pemilihan khusus pada 6 November mendatang.
Tlaib tak dapat menyembunyikan kebahagiannya atas kemenangan tersesebut. "Terima kasih banyak telah membuat momen yang tidak bisa dipercaya ini. Aku tak bisa berkata-kata. Aku tidak sabar untuk melayani kalian di Kongres," kata Tlaib melalui akun Twitter pribadinya pada Rabu (8/8).
Baca: Rashida Tlaib akan Jadi Wanita Muslim Pertama di Kongres AS
Tlaib akan menggantikan posisi John Conyers Jr yang telah mewakili distrik 13 Michigan di Kongres sejak 1965. Pada Desember 2017, Conyers mengundurkan diri menyusul kasus pelecehan seksual yang melibatkannya.
Tlaib lahir di Detroit pada 24 Juli 1976. Ia adalah anak dari dua imigran Palestina dan merupakan anak tertua dari 14 bersaudara. Menurut laman Haaretz, ibu Tlaib berasal dari Beit Ur al-Fauqa di luar Ramallah. Sedangkan, ayahnya berasal dari Beit Hanina dekat Yerusalem Timur.
Tlaib belajar politik dan kemudian hukum di Wayne State University. Ia lulus pada 2004. Sebelum memulai karier sebagai politisi, Tlaib adalah pengacara dan aktivis komunitas. Prestasi politik pertamanya dicapai pada 2008, yakni ketika dirinya terpilih sebagai wanita Muslim pertama di Dewan Perwakilan Michigan.
Kemenangan Tlaib dalam memperebutkan kursi Kongres terjadi ketika fenomena Islamofobia masih merebak di seluruh wilayah AS. Hal itu tak bisa dipisahkan dari retorika kampanye Donald Trump pada pilpres AS 2016.
Ia mengatakan akan menutup pintu AS dari imigran Muslim. Hal itu kemudian direalisasikannya saat terpilih sebagai presiden melalui kebijakan larangan perjalanan dari negara-negara mayoritas Muslim.
Namun meningkatnya kasus Islamafobia di AS telah mendorong Muslim di sana untuk terlibat aktif dalam politik. Hal itu diungkapkan Institute for Social Policy and Understanding (ISPU), sebuah lembaga think-thank yang berbasis di Washington.
Dalam poling tahunan ketiganya yang diterbitkan Mei lalu, ISPU menemukan bahwa kejahatan kebencian terhadap Muslim di AS telah meningkat ke level yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hal itu tak dapat dipisahkan dari kampanye Trump pada masa Pilpres AS 2016.
Kendati demikian, merebaknya fenomena dan kasus Islamofobia di AS telah mendorong Muslim di sana untuk terlibat lebih aktif secara politik, termasuk dalam politik elektoral. Menurut ISPU, motivasi utama mereka adalah hendak mengubah apa yang dilihatnya sebagai pergeseran bias di negaranya.
"Sisi baiknya dari semua ini adalah bahwa selama beberapa tahun terakhir umat Islam terus mengalami kenaikan dalam persentase yang melaporkan terdaftar untuk memilih," ungkap Direktur Penelitian ISPU Dalia Mogahed, dikutip laman Aljazirah.
Mogahed, yang juga pernah menjabat sebagai penasihat urusan Muslim era pemerintahan Barack Obama, menilai, banyak Muslim di AS yang masih belum puas dengan arah negara. "Tetapi mereka lebih terlibat secara politik," katanya.
Berdasarkan hasil jajak pendapat yang dilakukan ISPU, hampir 75 persen Muslim di sana mengatakan mereka terdaftar untuk memilih. Jumlah itu meningkat tujuh persen dibandingkan hasil jajak pendapat yang dilakukan ISPU tahun lalu.
Saat ini terdapat lebih dari 90 Muslim Amerika yang mencalonkan diri untuk jabatan publik di seluruh AS tahun ini. Mayoritas dari mereka berasal dari Partai Demokrat. Jumlah ini menandai kenaikan luar biasa untuk kelompok beragam yang biasanya kurang terwakili dalam politik AS.