REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak memiliki wewenang untuk langsung memanggil terduga pelaku mahar politik untuk pencalonan capres-cawapres. Penelusuran terhadap dugaan kasus mahar politik hanya bisa dilakukan jika ada pihak yang melaporkan hal tersebut kepada Bawaslu.
"Kami juga tidak punya wewenang untuk melakukan penyadapan (terkait hal tersebut). Kecuali, ada pihak yang melaporkan. Jika demikian, kami baru bisa telusuri," kata anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Mochamad Afifuddin, ketika dijumpai wartawan di Kantor Bawaslu, Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (9/8).
Kondisi saat ini, kata dia, berbeda dengan kasus dugaan mahar politik yang pernah diungkapkan oleh La Nyalla Mattalitti beberapa waktu lalu. La Nyalla sudah menyampaikan pernah diminta membayar sejumlah uang kepada parpol tertentu untuk kepentingan pencalonan di pilkada.
"Karena sudah menyebutkan, maka bisa ditelusuri. Kami khawatir soal informasi mahar politik dalam pencapresan saat ini hanya akan menjadi isu saja. Maka, kalau ada yang melaporkan ya silakan saja," kata Afif.
Sebelumnya, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Fritz Edward Siregar, meminta Sekjen Partai Demokrat, Andi Arief, mau melaporkan tentang tuduhan mahar politik sebesar Rp 500 miliar dari Sandiaga Uno. "Apabila ada para pihak yang mengetahui kami sangat mengharapkan kehadirannya untuk datang di Bawaslu. Sehingga saat Bawaslu melakukan sebuah klarifikasi kami mendapatkan sebuah informasi secara konprehensif," kata Fritz kepada wartawan di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (9/8).
Ia menjelaskan mekanisme penanganan dugaan mahar politik dalam pencalonan capres-cawapres. Bawaslu akan melakukan klarifikasi terhadap pelapor dugaan mahar politik dan terduga pemberi mahar politik.
Selain itu, Bawaslu bersama sentra penegakan hukum terpadu bisa melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam penelusuran ini. Bawaslu juga bisa menelusuri dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Apakah memang benar telah terjadi transfer dana dari seseorang kepada parpol terkait pencalonan presiden atau wakil presiden. Memang harus ada bebeberapa langkah yang harus dilakukan untuk menyelesaikan hal ini. Tetapi langkah pertama harus dari Bawaslu," kata Fritz.
Fritz melanjutkan, pasal 228 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 menegaskan larangan bakal calon presiden dan calon wakil presiden memberikan uang atau imbalan kepada parpol agar memberikan dukungan. Kemudian, jika nantinya ada putusan hukum berkekuatan tetap menyatakan seseorang menyerahkan imbalan kepada parpol untuk menjadi capres atau cawapres, maka pencalonannya dapat dibatalkan.
Selain itu, parpol yang menerima dana tersebut tidak dapat mencalonkan presiden dan wakil presiden pada pemilu berikutnya.
Baca Juga: Soal 'Jenderal Kardus', Demokrat: Itu Ketidakpuasan Andi Arief
Pada Rabu (8/8) malam, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Andi Arief membuat kehebohan di jagad maya. Di akun Twitternya, ia menyebut Prabowo Subianto sebagai ‘jenderal kardus’.
Sebutan tersebut diduga karena Prabowo akan menjadikan Sandiaga Uno sebagai calon wakil presiden untuk mendampinginya pada pilpres 2019. Bahkan, Andi menyebut Sandiaga Uno telah memberikan uang sebesar Rp 500 miliar untuk dua partai koalisi Gerindra, yakni PAN dan PKS.