Kamis 09 Aug 2018 17:59 WIB

Dedi Mulyadi: Sudahi Perdebatan Cebong dan Kampret

Jika tidak dihentikan maka akan menimbulkan permusuhan antarsesama anak bangsa.

Rep: Ita Nina Winarsih/ Red: Ratna Puspita
Ketua DPD Golkar Jabar Dedi Mulyadi.
Foto: dok. Pribadi
Ketua DPD Golkar Jabar Dedi Mulyadi.

REPUBLIKA.CO.ID, PURWAKARTA -- Perseteruan dua kubu yang kemudian mengarah pada sebutan cebong dan kampret menjelang Pilpres 2019 mendapat sorotan dari sejumlah kalangan. Salah satunya datang dari Ketua DPD Golkar Jabar, Dedi Mulyadi. 

Mantan bupati Purwakarta ini, menilai fenomena ini seharusnya tak perlu terjadi dan karena itu harus segera dihentikan. Sebab, jika tidak dihentikan maka akan menimbulkan permusuhan antarsesama.

Selain itu, jika hal ini terus dibiarkan maka energi anak bangsa akan habis untuk hal yang tidak substansif. Padahal, pemikiran sekaligus pembangunan harus terus berlangsung secara berkesinambungan. 

"Kritik di media sosial saat ini lebih mengarah pada ejekan. Bukan bersifat otokritik yang konstruktif agar ada perbaikan kepemimpinan," ujar Dedi, kepada Republika.co.id, Kamis (9/8).

Ia mengatakan perseteruan dua kubu ini, dipicu karena perbedaan pilihan politik. Ia mengatakan masing-masing kubu merasa paling berhak dan benar. 

Kubu yang satu, merasa paling berhak atas narasi nasionalis-pluralis. Kubu yang lain merasa memiliki otoritas berjihad melalu sosial media dengan narasi agama.

Karena itu, ia mengatakan, perbedaan politik ini  merembet ke ranah agama dan ideologi. Padahal, agama dan ideologi tidak sepantasnya dieksploitasi untuk kepentingan politik pragmatis. 

Ia mengingatkan, ketiga hal tersebut memiliki perbedaan kepentingan. Selain itu, ia juga mengatakan, kedua pihak yang menyebut yang lain sebagai cebong dan kampret merupakan satu bangsa. Dengan begitu, fenomena ini harus segera dihentikan. 

Perseteruan panjang

Ia mengatakan perseteruan dua kubu yang menyebut lawannya sebagai cebong dan kampret ini berlangsung sejak beberapa tahun terakhir. Sebutan tersebut muncul sejak menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017 dan kian memanas sebelum pemilihan presiden tahun depan. 

Bahkan, menurut Dedi, perseteruan itu juga merupakan residu energi dari pemilihan presiden 2014. Hal ini terlihat dari narasi nasionalisme dan agama yang digunakan menggiring opini publik di media sosial. “Narasi yang persis sama,” kata dia. 

Ia menambahkan narasi nasionalisme dan agama tersebut diarahkan untuk menyulut emosi publik. Sehingga, berdampak pada tingkat kerusakan tenun kebangsaan. 

Kalau dua kubu ini mengalami kekecewaan, mereka bisa menjadi oposan yang absurd. Kondisi ini bisa memunculkan ketidakpercayaan terhadap elite politik.

Di sisi lain, ketika publik terbelah menjadi cebong dan kampret, elite politik menjalin komunikasi yang baik. "Maka saya tegaskan, saya bukan cebong, saya bukan kampret, saya bukan kardus, saya ini golkar," kata Dedi. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement