Kamis 09 Aug 2018 18:45 WIB

BI Perpanjang Fasilitas BCSA dengan Bank Sentral Australia

Fasilitas BCSA ini berlaku selama tiga tahun

Rep: Binti Sholikah/ Red: Nidia Zuraya
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo
Foto: Republika TV/Fakhtar Khairon
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) dan Bank Sentral Australia, Reserve Bank of Australia, sepakat untuk memperpanjang kerja sama Bilateral Local Currency Swap Arrangement (BCSA) antara kedua bank sentral yang akan berakhir pada Desember 2018. Perjanjian kerja sama BCSA yang berlaku efektif selama tiga tahun tersebut memungkinkan swap mata uang lokal antara kedua bank sentral senilai 10 miliar dolar Australia (sekitar Rp 100 triliun).

Kesepakatan tersebut dilakukan di tengah rangkaian pelaksanaan pertemuan gubernur bank sentral Executives Meeting of East Asia-Pacific (EMEAP) di Manila, akhir pekan lalu.

Direktur Departemen Internasional BI, Erwin Haryono, mengatakan selama ini transaksi perdagangan sebanyak 86,5 persen masih menggunakan mata uang dolar AS. Transaksi ekspor sebanyak 95 persen masih menggunakan dolar AS, sedangkan transaksi impor 75 persen masih menggunakan dolar AS.

Hegemoni dari dolar AS dipandang masih sangat mendominasi di dalam transaksi perdagangan. Akibatnya, setiap kali ada gejolak bisa berpengaruh pada permintaan dolar AS. Semua pergerakan akan mempengaruhi nilai tukar dolar AS terhadap rupiah

"Melalui kesepakatan BCSA ini, transaksi dua negara tidak harus mengunakan dolar AS sehingga bisa mengurangi permintaan dolar AS di pasar. Harapannya tekanan kestabilan dolar AS versus rupiah bisa ditekan," kata Erwin dalam acara Bincang Bareng Media, di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (9/8).

Menurut Erwin, fasilitas BCSA tersebut merupakan windows yang disiapkan BI dengan Bank Sentral Australia kalau sewaktu-waktu ada keadaan mendesak. Misalnya saat terjadi kondisi kesulitan mencari dolar AS, maka perdagangan tidak terganggu.

"Kesepakatan ini diperpanjang karena kami ingin menunjukkan kepada publik bahwa kedua bank sentral bersepakat memperpanjang fasilitas ini untuk menyediakan windows saat dibutuhkan," ujarnya.

Menurut Erwin, selama tiga tahun berjalan kerjasama fasilitas BCSA tersebut belum ada yang memanfaatkan. Namun, Erwin mengaku senang karena BCSA merupakan sebuah fasilitas windows apabila terjadi kesusahan di dalam penggunaan dolar AS yang disebabkan krisis atau hal lain sehingga perdagangan internasional sulit dilakukan karena sulit mencari dolar maka kedua bank sentral sepakat tidak menggunakan dolar AS .

"Memang sejauh ini hampir tiga tahun tidak ada yang memanfaatkan karena kita tidak krisis. Tapi bank sentral berjaga-jaga apabila terjadi emergency situation," ucapnya.

Meski demikian, BI akan melakukan sosialisasi agar pelaku usaha memanfaatkan fasilitas BCSA meskipun tidak dalam kondisi krisis. Gubernur BI Perry Warjiyo, menilai kerja sama tersebut menjadi bagian dari upaya Bank Indonesia untuk mendorong perdagangan bilateral.

Khususnya untuk menjamin penyelesaian transaksi perdagangan dalam mata uang lokal antara kedua negara. Perpanjangan perjanjian kerja sama ini juga mencerminkan penguatan kerja sama keuangan antara Indonesia dan Australia melalui penggunaan mata uang masing-masing negara untuk mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan mata uang tertentu.

"Upaya tersebut juga merupakan bagian dari inisiatif pendalaman pasar keuangan dalam rangka mendukung ketahanan perekonomian Indonesia," kata Perry melalui siaran pers.

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI), Bank Negara Malaysia (BNM), dan Bank of Thailand (BOT) meluncurkan local currency settlement framework pada Desember 2017. Inisiatif tersebut menjadi upaya untuk mendorong penggunaan mata uang rupiah, ringgit dan baht secara lebih luas dalam transaksi perdagangan dan investasi antara ketiga negara.

Dalam memfasilitasi operasionalisasi framework LCS tersebut, BI, Bank Negara Malaysia, dan Bank of Thailand telah menunjuk beberapa bank yang memenuhi kriteria kualifikasi utama untuk memfasilitasi transaksi bilateral.

Bank-bank yang ditunjuk tersebut antara lain memenuhi kriteria sebagai bank yang berdaya tahan dan sehat di setiap negara, memiliki pengalaman dalam memfasilitasi perdagangan antar kedua negara, memiliki hubungan bisnis dengan bank di kedua negara, dan memiliki basis konsumen dan kantor cabang yang luas di negara asal (home country).

Deputi Direktur Departemen Internasional BI, Ita Vianty, mengatakan, total transaksi menggunakan local currency dari Januari samlai Juni 2018 mencapai 753 juta bath Thailand, serta 231 juta ringgit Malaysia. Mulai 21 Agustus, Bank Sentral Thailand akan melakukan sosialisasi cukup besar untuk mendorong penggunaan local currency.

Kemudian pada September 2018 Malaysia juga akan melakuakn sosialisasi sehingga diharapkan ke depan prospek semakin baik. "BI mendorong penggunaan local currency sehingga biaya lebih murah," ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement