Jumat 10 Aug 2018 19:00 WIB

'Status Gempa Lombok Seharusnya Bencana Nasional'

Gempa ini menambah kerusakan rumah penduduk yang sudah terlanjur rusak.

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Agus Yulianto
Warga  berada di depan mobil dan rumah yang rusak  akibat gempa, Desa Pemenang, Lombok Utara, NTB, Rabu (8/8).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Warga berada di depan mobil dan rumah yang rusak akibat gempa, Desa Pemenang, Lombok Utara, NTB, Rabu (8/8).

REPUBLIKA.CO.ID, LOMBOK BARAT -- Gempa tidak putus-putus mengguncang Pulau Lombok sejak Ahad (29/7) dengan 6,4 skala richter (SR) sampai dengan gempa yang lebih besar lagi pada Ahad (5/8) dengan kekuatan 7,0 SR.  Dua gempa yang secara keilmuan dikategorikan sebagai gempa kembar (doublet) terus diikuti oleh gempa-gempa dalam skala kecil, termasuk gempa dengan kekuatan 6,2 SR kembali mengguncang Pulau Seribu Masjid ini. Gempa tersebut menjadi pelengkap dari 17 gempa susulan yang dirasakan pascagempa 7,0 SR dari 335 kali gempa.

Gempa kali ini pun dirasakan sudah sangat besar dan membuat orang-orang berhamburan keluar rumah. Mereka sudah sangat ketakutan. Hasil pantauan di Posko Pengungsi Depan Kantor Camat Lingsar Lombok Barat (Lobar), beberapa ibu-ibu meneriakkan kalimat takbir dengan penuh ketakutan.

Ketua Forum Peduli Resiko Bencana Lombok Barat Sulhan Mukhlis Ibrahim mengatakan, seorang anggota Tim Siaga Bencana Daerah (TSBD) Lobar, Ramli (39) pun tertimpa reruntuhan tembok sebuah kios saat istirahat shalat Zuhur. Ia mengalami pendarahan di kepala, tangan, dan kaki. Tidak berselang lama, kabar kematian pun mengikuti. Setidaknya tiga orang dikabarkan meninggal karena tertimpa bangunan yang roboh atas nama Sarapudin dari Desa Sigerongan Lingsar, Papuk Fajaryah dari Kapek Desa Gunung Sari dan I Gede Darma dari Dusun Lilit Barat, Desa Mekar Sari. Ketiga orang tersebut menggenapi seluruh korban meninggal di Lombok Barat menjadi 30 orang.

"Beberapa bangunan yang awalnya hanya retak kecil mengalami rengkahan. Bahkan atap Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Mataram yang awalnya hanya bergeser gentengnya, terlihat atapnya sudah ambruk," ujar Sulhan.

Ia meyakini, gempa ini akan menambah kerusakan rumah penduduk yang sudah terlanjur rusak gempa-gempa sebelumnya, bahkan menambah jumlah korban.

"Warga semakin ketakutan. Mereka lebih memilih mengamankan diri di tenda-tenda darurat," lanjutnya.

Besarnya korban maupun kerugian yang ada, membuatnya yakin bahwa status bencana nasional harus segera dilakukan.

"Pemerintahan di level provinsi betul masih berjalan, namun Pemkab Lombok Utara sudah lumpuh dan kabupaten/kota lainnya di Pulau Lombok sudah tidak normal," ujar pria yang juga menjabat Wakil Ketua di DPRD Lombok Barat tersebut.

Merujuk pada UU Nomor 24/2007, lanjutnya, gempa bumi di Lombok seharusnya masuk dalam kategori bencana nasional. Ia membandingkan jumlah korban saat gempa Jogja pada 2006 yany tidak menelan korban sebanyak gempa bumi di Lombok. Demikian juga soal lumpuhnya pemerintahan, Sulhan membandingkannya dengan kasus lumpur Lapindo di mana pemerintahan di Sidoarjo masih berjalan efektif.

"Pemerintah pusat harus hadir dan memperlakukan setiap warga negaranya secara adil. Jangan hanya gempa 2006 (Jogja) justru mereka secara masif memperhatikan," ucapnya.

Sulhan pesimistis Pemkab Lombok Utara, Lombok Barat, dan Lombok Timur, akan mampu menangani masalah bencana ini secara mandiri tanpa keterlibatan langsung pemerintah pusat lantaran keterbatasan fiskal daerah.

"Bencana gempa bumi Pulau Lombok harus dinaikkan statusnya menjadi bencana nasional," kata dia.

Dengan status tersebut, ia katakan, jaminan persedian bantuan sejak masa tanggap darurat, peralihan, sampai rekonstruksi, bisa disiapkan melalui APBN.

"Jadi masyarakat di daerah-daerah ini akan terbantu secara cepat dalam masa recovery," ungkap Sulhan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement