REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Idul Adha tinggal dua pekan lagi. Geliat pedagang kambing semakin terasa, baik yang musiman maupun pemain lama. Tak tanggung-tanggung, mereka mampu menjual kambing hingga 100 ekor per hari.
Bang Aan, begitu ia biasa dipanggil, sudah menjadi pedagang kambing hidup sejak 1983. Dengan dialek Betawi yang mantap, ia mengaku berjualan kambing merupakan suatu kebanggaan tersendiri.
"Dari tuh Kompeni (Belanda) masih di mari nih, engkong ane udah jualan di Tanah Abang," kata Aan ketika ditemui Republika.co.id, Rabu (8/8).
Tidak seperti pedagang kambing musiman, Aan memang berprofesi sebagai penjual kambing hidup. Ketika hari-hari biasa, pembeli yang datang merupakan pedagang makanan berbahan kambing dan pembeli yang menggunakan kambing untuk keperluan akikah.
"Sehari ada aja yang datang walaupun nggak beli, nggak tentu juga kalau hari biasa," lanjutnya.
Pasar Kambing di Jalan Sabeni, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (8/8).
Namun, ketika hari tertentu seperti Idul Adha, pengunjung yang datang menanjak secara signifikan. Biasanya, kata Aan, puncak pembeli jatuh pada tiga hari terakhir sebelum Idul Adha.
"Nah selama 3 hari itu tuh, bisa kejual 300 ekor," ungkap Aan.
Aan mengakui penghasilannya dari berjualan kambing sangat potensial. Namun, modal yang dikeluarkan untuk merawat kambing pun terbilang sangat tinggi.
Ia harus membeli rumput seharga Rp 25 ribu per karung dengan berat 25 Kg. Jumlah rumput itu, masih dianggap belum cukup.
Aan lalu menyuruh karyawannya mencari kulit jagung di sekitar pasar Tanah Abang. Setiap 30 kambing menghabiskan enam karung rumput dan kulit jagung.
Kambing-kambing yang ia jual, ternyata bukan peliharaan dirinya. Ia mendapat pasokan dari luar daerah seperti Wonosobo, Bumiayu, bahkan Lampung.
"Kebanyakan dari Jawa Tengah, tapi dari Lampung juga sama jenisnya," ujar dia.
Ia juga memiliki klasifikasi terhadap kambing-kambing yang ia jual. Untuk kambing kelas B dengan bobot 20-22 Kg, dihargai Rp 2 juta, kelas A dengan berat 35 Kg ia jual dengan harga Rp 3 juta. Kelas paling tinggi atau super dibanderol dengan harga Rp 6 juta untuk bobot lebih dari 45 Kg.
Hal senada juga dialami Farid, pedagang kambing lain yang telah berkecimpung sejak 1977. Sebelum menempati lapak di Pasar Kambing Jalan Sabeni, Tanah Abang, ia berjualan kambing bersama ayahnya di sekitar kawasan yang sekarang menjadi pusat tekstil.
"Dulu tuh belum ada pasar tekstil, justru sebelum orang nyebut pasar 'Tanah Abang', nyebutnya 'Pasar Kambing' sama 'Pasar Sayur' karena emang itu ciri khasnya Tanah Abang," ungkap dia kepada Republika.co.id, Rabu (8/8).
Pada 1986 hingga saat ini, ia dan pedagang lainnya dipindahkan ke tempat sementara di Jalan Sabeni, Kelurahan Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Meskipun dipindahkan, pembeli tetap berdatangan ke lapaknya. Ia mengklaim, sudah memiliki pelanggan setia yang turun-temurun seperti dirinya yang meneruskan usaha kakeknya, sejak zaman penjajahan Belanda dahulu.
Selain memiliki pelanggan setia, ia juga berusaha mendekatkan diri kepada pelanggan. Farid melayani pembeli dengan layanan antarlangsung ke rumah.
Tak hanya itu, jika pengunjung membeli kambingnya jauh sebelum Idul Adha, Farid mengizinkan kambing yang sudah dibeli untuk dititipkan di lapaknya hingga hari Tasyrik tiba, tanpa biaya tambahan. "Tapi kalau layanan antar minimal lima ekor," ucap Farid.
Harga yang ditawarkan Farid terhadap kambingnya juga tidak jauh berbeda dengan yang dipatok pedagang lain. Bahkan, ia menjual kambing dengan kualitas terbaik seharga Rp 10 juta.
"Itu yang paling super lagi, 50 Kg (bobotnya). Ada yang beli? Ada!" kata dia.