REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pimpinan Partai Gerindra meminta KH M’aruf Amin untuk mundur dari posisinya sekarang di MUI. Permintaan itu muncul setelah penetapannya sebagai kandidat pemilihan umum. “Almukarrom KH Ma’ruf Amin sebaiknya mundur dari posisi ketua (umum) MUI,” kata ketua DPP Partai Gerindra, Sodik Mudjahid, dalam rilisnya, Ahad (12/8).
Dia lantas mengutip anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) Majelis Ulama Indonesia (MUI) pasal 3 yang di dalamnya menegaskan bahwa majelis tersebut merupakan lembaga independen. Adapun pasal 6 dari aturan yang sama menjelaskan, MUI berfungsi sebagai penghubung antara umat dan pemimpin politik (umara), serta penerjemah timbal-balik antara kepentingan keduanya.
Selain aturan-aturan tertulis, ada persoalan tentang persepsi masyarakat. Sodik memandang, KH Ma’ruf Amin kurang elok bila berpolitik praktis sekaligus tetap menjabat di MUI. Dengan melepaskan jabatan yang dimaksud, MUI dapat jauh dari citra partisan.
Baca: Kiai Ma'ruf Amin Diminta Segera Mundur dari Ketua MUI
Sodik menganggap, semua pihak, baik itu MUI, pemerintah, maupun umat Islam akan memeroleh maslahat yang lebih baik bila cicit Imam Besar Masjidil Haram Syekh an-Nawawi al-Bantani itu mengambil opsi demikian. “Atau (bila KH Ma’ruf Amin tidak mundur, Red) setidaknya sulit untuk bersikap independen dalam memimpin MUI,” jelas wakil ketua Komisi VIII DPR itu.
Ia menambahkan umat Islam Indonesia masih menantikan peran MUI, termasuk dalam menyongsong Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Menurutnya, fatwa-fatwa tetap diperlukan dalam membimbing komunitas Muslimin yang ingin menyalurkan hak pilihnya.
Sebagai contoh, dalam konteks Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 silam, pernyataan MUI terbukti mendapatkan perhatian luas. “Banyak masalah bangsa ke depan, dalam berbagai bidang kehidupan, yang perlu mendapat fatwa MUI, termasuk bisa jadi fatwa yang terkait dengan dinamika Pilpres,” jelas Sodik.
Ia mengatakan, pengunduran diri sebagai ketua (umum) MUI, juga akan membebaskan KH Ma’ruf Amin dari kesulitan dan tekanan psikologis pribadi. Apalagui jika harus membuat fatwa-fatwa yang independen dengan kebijakan pemerintah.
Sebelumnya, sudah muncul pertanyaan tentang bagaimana nasib posisi ketua umum MUI pasca-deklarasi Jokowi-KH Ma’ruf Amin.
Sekjen MUI Buya Anwar Abbas telah dimintai klarifikasinya mengenai persoalan tersebut. Dia memaparkan, MUI belum menentukan sikap yang memberi peluang pada kepemimpinan baru. Pihaknya juga belum mengelaborasi bagaimana mekanisme internal yang ada ketika pimpinannya maju dalam konstetasi politik praktis.
Hanya saja, dia mengungkapkan, kemungkinan para petinggi MUI akan rapat setelah musim haji 2018. Penentuan tanggal pertemuan itu menunggu jadwal kepulangan KH Ma’ruf Amin nanti sepulangnya dari Tanah Suci. “Belum dibahas, tapi akan dibahas seusai musim haji karena banyak pengurus yang sedang dan atau akan melaksanakan ibadah haji,” jelas Buya Anwar Abbas kepada Republika.co.id, Sabtu (11/8) lalu.
Pada Kamis (9/8) lalu, calon presiden pejawat, Joko Widodo, telah mengumumkan nama Kiai Ma'ruf Amin sebagai calon wakil presiden. Berjajar dengan koalisi PDI-Perjuangan, dia beralasan bahwa kiai sepuh itu memiliki cita-cita kebinekaan dan latar belakang yang mumpuni untuk mendampinginya dalam memimpin bangsa.
Sepanjang riwayat kariernya, KH Ma’ruf Amin yang kini berusia 75 tahun pernah menjabat di berbagai posisi. Ia pernah menjadi anggota DPRD, legislator DPR RI, anggota MPR RI, anggota Dewan Pertimbangan Presiden, pimpinan PB Nahdlatul Ulama, hingga ketua umum MUI.