REPUBLIKA.CO.ID, AUCKLAND -- Parlemen Selandia Baru mengesahkan undang-undang yang melarang warga asing nonpenduduk di negaranya membeli properti yang sudah ada. Kebijakan tersebut merupakan pemenuhan janji kampanye pemilu yang dipimpin Partai Buruh.
Perdana Menteri Jacinda Ardern dalam kampanyenya sebelum pemilihan umum (pemilu) bulan September lalu berjanji akan menekan kenaikan harga rumah dan mengurangi tingkat tunawisma yang tinggi. Hal itu sebagian dilakukan dengan melarang pembelian rumah oleh warga asing.
"Ini adalah tonggak penting dan menunjukkan komitmen pemerintah untuk membuat impian memiliki rumah menjadi sebuah kenyataan bagi lebih banyak warga Selandia Baru," kata Menteri Keuangan Associate David Parker.
Kepemilikan asing telah mengundang kecaman dalam beberapa tahun terakhir karena Selandia Baru saat ini tengah bergulat dengan krisis perumahan. Hal itu telah menjadikan harga rumah rata-rata di kota terbesar Auckland naik hampir dua kali lipat dalam satu dekade terakhir dan meningkat lebih dari 60 persen secara nasional.
Laju kenaikan harga rumah ini telah mereda dalam beberapa tahun terakhir sebagian dikarenakan pembatasan pinjaman oleh bank sentral. Bank sentral khawatir akan potensi risiko stabilitas keuangan dari pasar yang terlalu panas.
Angka yang dirilis oleh Real Estat Institute of New Zealand pada Rabu (15/8) menunjukkan harga rata-rata rumah telah turun 1,8 persen menjadi 550 ribu dolar Selandia Baru (498.600 dolar AS) atau setara Rp 5,2 miliar pada Juli dari bulan sebelumnya. Harga itu masih 6,2 persen lebih tinggi dari waktu yang sama tahun sebelumnya.
Namun, menurut Badan Statistik Selandia Baru, mayoritas pembeli asing berasal dari Cina dan negara tetangga Australia. Sementara, Australia dibebaskan dari larangan tersebut.
"Apakah larangan itu bijaksana atau berguna? Kami pikir itu tidak baik," kata jurubicara real estate Cina, Juru Bicara Juwai.com, Dave Platter.
"Pembelian rumah oleh asing...cenderung difokuskan pada pembangunan yang baru, membuat jelas lagi bahwa investasi asing mengarah pada penciptaan tempat tinggal baru. Itu penting di pasar dengan kekurangan perumahan seperti Auckland."
Pemerintah Selandia Baru sedikit melonggarkan larangan yang diusulkan pada bulan Juni. Hal itu membuat non-penduduk masih dapat memiliki hingga 60 persen unit di gedung apartemen besar yang baru dibangun tetapi tidak akan lagi dapat membeli rumah yang ada.
Dana Moneter Internasional meminta Pemerintah Selandia Baru pada Juli untuk mempertimbangkan kembali larangan tersebut. Mereka memperingatkan langkah itu dapat mencegah investasi asing langsung yang diperlukan untuk membangun rumah baru.
Angka resmi Statistik Selandia Baru menunjukan tingkat keseluruhan pembelian rumah asing relatif rendah, sekitar 3 persen dari transfer properti nasional pada kuartal Juni.
Namun, data itu tidak menangkap pembelian properti yang dibeli melalui trust.Selain itu, menunjukkan pengalihan properti yang melibatkan orang asing sangat terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu, seperti pusat kota Auckland dan Queenstown.
Pemerintah telah bernegosiasi dengan Singapura, yang perjanjian perdagangan bebasnya dengan Selandia Baru memungkinkan kepemilikan asing. Negosiasi dilakukan untuk menentukan apakah akan memberikan pengecualian.
Simak beritanya dalam Bahasa Inggris di sini.