REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), diterpa gempa besar pada Ahad (29/7) dan Ahad (5/8). Gempa tersebut memakan ratusan korban meninggal, ribuan luka-luka, puluhan ribu rumah rusak parah dan ratusan ribu korban mengungsi.
Di antara para pengungsi itu terdapat banyak sekali ibu hamil, nifas, menyusui, anak bayi dan balita yang kesemuanya perlu menjadi perhatian. Anak bayi dan balita merupakan kelompok yang paling rentan di pengungsian. Salah satunya adalah ancaman stunting, yakni kurang gizi kronis yang bisa berdampak pada pertumbuhan fisiknya (posturnya) tidak maksimal pada saat dewasa nanti.
Karena itulah, LAZ BSM Umat menaruh perhatian besar terhadap mereka. LAZ tersebut menangani pengungsian di 14 dusun di Desa Sigarpenjalin, Lombok Utara. Jumlah pengungsi diperkirakan lebih dari 6 ribu jiwa.
“Bayi dan balita adalah kelompok rentan yang akan berdampak panjang pada pertumbuhan dan perkembangan manusia di kemudian hari. Kami bertekad, stunting yang mengancam di kondisi bencana besar seperti Gempa Lombok harus di eliminasi, dimulai dengan sanitasi air dan makanan khusus bayi dan balita. Sejauh mungkin kami mengenali dan mengurangi faktor dominan resiko stunting, salah satunya diare,” kata relawan LAZ BSM Umat, Humairoh Anahdi dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Sabtu (18/8).
Ia menyebutkan, pada Senin (13/8) lalu, pihaknya memulai dengan persiapan infrastruktur dapur umum dan perlengkapan sederhana serta assesment dasar sumber pangan lokal. “Calon supplier sayur dan bahan pangan lainnya alhamdulillah dapat dengan mudah didapat,” ujarnya.
Ia menambahkan, “Tak henti kami bersyukur juga karena telah mendapatkan relawan ahli yang siap terjun langsung untuk memimpin dan mendampingi masyarakat. Target kami, 1.000 bayi dan balita di sekitar camp akan kami fasilitasi agar terhindar dari stunting. Tekad kami, anak indonesia tetap sehat meski dalam kondisi bencana.”
Tentu saja, kata Humairoh, kerja kerja sosial ini tentu akan sangat terbatas. Baik waktunya maupun fasilitasnya.
“Kami tidak ingin masyarakat justru sangat tergantung pada ‘bantuan’ luar ini. Anak bayi dan balita harus segera pulih dari situasi dengan pelibatan para penyintas, termasuk ibu dan tokoh kunci penggerak masyarakat. Keterlibatan mereka dimulai sejakproses pemilihan menu, memasak, dan penyesuaian porsi sesuai kelompok umur dilakukan di dapur MPASI (makanan pengganti ASI). Namun, proses penyesuaian tekstur tetap dilakukan oleh orang tua bayi dan anak,” paparnya.