REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Juliantono menyatakan sebetulnya politik identitas itu lazim digunakan di beberapa negara saat menggelar Pemilihan Umum. Karena itu, menurut dia, yang seharusnya dilawan adalah penggunaan kekerasan baik verbal atau fisik atas nama suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
"Gerindra dan parpol koalisi ini enggak ingin terjebak dalam kesempitan cara berpikir mengenai politik identitas," kata dia dalam diskusi publik yang digelar Centre for Strategic and International Studies (CSIS), di Jakarta, Senin (20/8).
Dalam kesempatan itu, Ferry menyinggung saat Gerindra mengusung Basuki Tjahja Purnama alias Ahok dalam Pilkada DKI 2012 lalu. Gerindra, kata dia, saat itu menjadi salah satu partai yang mengusulkan nama Ahok agar menjadi cawagub DKI mendampingi Jokowi saat itu.
"Karena kita ingin melakukan eksperimen politik. Gerindra yakin mengusulkan Basuki mendampingi Jokowi untuk ikut kontestasi Pilkada DKI 2012. Alhamdulillah terpilih," ujar dia.
Baca juga: Hindari Kontroversi, Sidang MPR Undang Imam Besar Istiqlal
Kemudian, di Pilpres 2014, Jokowi maju menjadi capres hingga akhirnya terpilih. Saat bersamaan, Ahok menjadi pelaksana tugas (Plt) Gubernur DKI. Terlepas dari prestasi Ahok, ada permasalahan terkait penggusuran masyarakat di beberapa titik di Jakarta. Penggusuran ini kemudian disikapi masyarakat dengan unjuk rasa.
Selain itu, juga terdapat masalah reklamasi yang dianggap masyarakat sebagai langkah yang mengabaikan regulasi. Pembangunan tersebut dikhawatirkan hanya ditujukan pada lapisan sosial tertentu. Proyek reklamasi ini, jelas Ferry, menimbulkan kesan keberpihakan Pemprov DKI terhadap kelompok tertentu.
"Puncaknya adalah Pak Basuki itu sebagai kepala daerah masuk ke ranah agama orang lain, terlepas dari pro kontra surat Al-Maidah, itu masuk ranah agama orang lain. Di situlah isu primordial muncul, sampai gelombang protes 212 dan 411," papar dia.
Hingga akhirnya, jelas Ferry, peristiwa itu membentuk kesadaran para pemilih. Pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno pun menang dalam kontestasi Pilkada DKI 2017 lalu, mengalahkan pejawat Ahok berpasangan dengan Djarot Saeful Hidayat. "Di situlah politik identitas itu muncul," kata dia.
Baca juga: 'Capres Boleh Beda, Merah Putih Kita Sama'
Ferry mengatakan, pada Pilpres 2019, pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno fokus pada isu ekonomi. Dia membantah koalisi pendukung Prabowo-Sandiaga akan menggunakan politik identitas meski biasa dipakai di negara lain bahkan sekelas Amerika Serikat. "Tidak benar kami menggunakan politik identitas," tuturnya.
Di Amerika, lanjut Ferry, Donald Trump dalam Pemilu AS menggunakan isu imigran yang merupakan turunan dari isu SARA. Setelah terpilih, isu ini pun tetap digulirkan Trump hingga menghasilkan sebuah kebijakan. Saat Obama maju menjadi capres AS juga demikian.
Ferry melanjutkan, isu politik identitas mengemuka karena Obama capres dari kulit hitam pertama. Dan isu ini muncul baik secara sengaja dan tidak. Dengan demikian, menurut Ferry, publik juga harus melihat isu tersebut sebagai hal yang lazim.
"Kita juga harus biasa melihat soal pilitik identitas. Gerindra, PKS, dan PAN tidak melihat politik identitas itu dari kacamata yang sempit," ujar dia.
Baca juga: Ketua DPR Singgung Pilpres dalam Sidang Tahunan DPR
Sebelumnya, Ketua DPR Bambang Soesatyo mengajak semua pihak tidak membiarkan berkembangnya politik identitas dalam Pilpres dan Pemilu 2019 mendatang. Sebab menurut Bambang, politik identitas termasuk hal yang dapat menyulut permusuhan serta mengancam persatuan dan keutuhan bangsa.
"Kita tidak boleh membiarkan berkembangnya politik identitas yang dapat menyulut permusuhan serta mengancam persatuan dan keutuhan bangsa," ujar Bambang dalam pidato di Sidang Tahunan DPR di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (16/8).
Ia mengatakan adanya perbedaan haluan politik terkadang membuat saling hujat dan saling serang. Bahkan tokoh agama acap kali dihujat, presiden dan lembaga-lembaga negara sebagai simbol kedaulatan negara dilecehkan.
Sehingga kritik berubah menjadi pembunuhan karakter yang kejam. Bamsoet melanjutkan pondasi bangsa yang berlandaskan asas kebinekaan juga bisa goyah dengan isu SARA.