REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menanggapi soal kehalalan vaksin Measles dan Rubella (MR) produksi Serum Institute of India, Koalisi Dokter Muslim Pro Imunisasi meminta masyarakat percaya kepada para ahli. Seperti halnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memfatwakan pemberian vaksin MR boleh dilakukan dan hukumnya mubah.
Anggota Koalisi Dokter Muslim Pro Imunisasi dr Raehanul Barhaen mengatakan, ada beberapa poin yang perlu diperhatikan dari fatwa dan arahan MUI. Pertama, MUI menyatakan vaksin MR adalah mubah. Artinya, boleh melakukan vaksin untuk anak-anak dan hal ini bisa menghilangkan keraguan yang selama ini menyelimuti para orang tua.
BPOM, menurut Raehanul, juga sudah menyatakan produk akhir vaksin MR tidak mengandung babi. Dalam fatwa MUI pun ditegaskan, proses pembuatan vaksin menggunakan bahan yang bukan mengandung babi.
Memang dalam hal ini ada perbedaan pendapat ulama mengenai konsep istihalah dan istihlak. Raehanul yang juga penulis buku “Vaksin Mubah dan Bermanfaat” sangat menghormati pendapat MUI yang tidak memasukkan konsep istihalah dan istihlak dalam vaksin ini.
Perlu diketahi bahwa vaksin polio injeksi (IPV= Injection polio vaccine) dalam proses pembuatannya juga masih menggunakan enzim tripsin babi sbagai katalisator, namun di hasil akhir vaksin sudah tidak ada. Beberapa ulama memfatwakan membolehkan karena sudah tidak mengandung babi dengan kaidah istihalah dan istihlak.
Dalam fatwa ini, MUI mengakui bahwa vaksin adalah satu-satunyanya metode imunisasi. Adapun metode lain yang diklaim bisa menggantikan vaksin, ternyata oleh MUI tidak dianggap bisa menggantikan vaksin. Apabila bisa menggantikan, tentu tidak ada istilah darurat syariyyah.
"Hendaknya tidak ada pihak yang mengklaim bahwa vaksin tidak dibutuhkan dan mengklaim bahwa mereka punya alternatifnya," ujar Raehanul.
Perlu diketahui bahwa negara-negara Islam juga memakai memakai produk vaksin polio dan mewajibkan vaksin bagi penduduknya seperti Arab Saudi dan negara Islam lainnya. Menurut Raehanul, sebaiknya masyarakat lebih percaya kepada ahlinya, sebagaimana arahan MUI.
"Hendaknya kita jauhi opini atau pendapat yang bukan ahlinya, yaitu info beberapa oknum yang menyebarkan info tidak benar mengenai vaksin (yang oknum ini bukan ahli vaksin dan ahli agama tetapi berbicara tentang vaksin) mereka mengatakan vaksin itu tidak penting, vaksin konspirasi dan program depopulasi vaksin bahaya dan lainnya," ujar Raehanul.
Jika ulama di MUI percaya dengan para ahli berupa dokter dan tenaga kesehatan, Raehanul berharap kaum Muslimin juga percaya. Ilmuwan Muslim akan terus mengupayakan arahan MUI agar mencari dan meneliti vaksin yang tidak menggunakan babi dalam pembuatannya. Hanya saja penelitian ini butuh waktu dan cukup lama.
Secara umum, WHO dan ilmuwan dunia sudah berusaha meneliti vaksin tanpa ada unsur binatang. Memakai enzim dari sapi pun akan menimbulkan pertentangan, terutama dari negara India dan sekitarnya.
"Kita doakan semoga ilmuwan Muslim bisa segera menemukan vaksin yang tanpa menggunakan bahan hewani sama sekali," ujar Raehanul.