REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyerukan bahwa negaranya tak akan tunduk pada krisis diplomasi yang terus berlanjut dengan Amerika Serikat (AS). Tanpa menyebut AS secara langsung, ia mengatakan tak ada bedanya antara serangan terhadap ekonomi negara dengan serangan terhadap panggilan shalat dan bendera negaranya.
"Tujuannya sama. Tujuannya adalah membuat Turki dan bangsa Turki tunduk, untuk menahannya. Kami adalah bangsa yang lebih suka ditembak di leher daripada harus dirantai di leher," kata Erdogan dalam pesan video sebelum liburan Idul Adha, seperti dikutip Aljazirah.
Hubungan antara Turki dan AS memburuk karena sejumlah masalah, seperti perbedaan tujuan dalam konflik Suriah, rencana pembelian sistem anti-pesawat Rusia, dan penahanan pendeta Evangelis AS Andrew Brunson yang menuduh Turki mendukung teroris kelompok. AS menolak tuduhan terhadap Brunson dan telah menuntut pembebasannya di bawah ancaman tindakan hukuman terhadap sekutu NATO-nya.
Turki bersedia berbicara dengan AS dengan posisi setara, terutama dalam masalah tarif dan pendeta itu. Awal bulan ini, AS menjatuhkan sanksi terhadap dua menteri Turki karena penahanan Brunson. Negara tersebut berjanji akan melakukan tindakan lebih keras apabila pendeta itu tidak dibebaskan.
Sementara itu, Erdogan mengatakan ada pihak luar yang membuat krisis ekonomi berkembang di negaranya. Nilai lira, mata uang negara itu, jatuh setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif impor logam untuk Turki. Nilai tukar lira jatuh hingga 7.000. Namun, angka itu sempat menguat hingga 6.000.
Sebaliknya, Turki mengumumkan sanksi setara atas barang-barang yang diproduksi AS. Nilainya mencapai satu miliar dolar AS. Erdogan mengecam Washington karena menyatakan 'perang ekonomi terhadap seluruh dunia' dan mengendalikan negara 'dengan tebusan melalui ancaman sanksi'.