REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang sahabat diutus Rasulullah untuk menemui Usman bin Madz’un, suami Khaulah binti Hakim. Rasul berbuat demikian setelah mendengar cerita Aisyah, mengenai kondisi Khaulah yang acak-acakan. Aisyah menuturkan kepada suaminya, Muhammad SAW, bahwa Usman selalu sibuk beribadah.
Di siang hari, Usman selalu berpuasa dan kala malam sibuk dengan shalatnya. “Karena perbuatannya, Khaulah enggan berdandan,” ungkap Aisyah. Maka itu, Rasulullah menegur Usman yang telah ada di hadapannya agar tak meninggalkan sunahnya.
Rasul rajin beribadah, tetapi juga tetap memperhatikan keluarga dan istrinya dan istri beliau tetap melayani suaminya, termasuk dengan berdandan. Ummu Habibah dalam bukunya Belajar dari Aisyah mengatakan, tabiat perempuan adalah berdandan dan hak suami adalah melihat istrinya berdandan.
Baca: Musik dalam Peradaban Islam
Menurut dia, kewajiban perempuan berdandan demi suaminya tak lekang oleh usianya yang telah menua. “Itu terus berlanjut hingga suaminya meninggal dunia,” katanya. Ia merujuk contoh Ulayyah binti al-Mahdi, yang rajin membaca Alquran dan berada di mushalanya untuk shalat. Tapi, ia tak lupa berdandan.
Ketika Nailah menikah dengan Usman bin Affan dan dibawa ke rumahnya, ujar dia, ayah Nailah memberikan nasihat kepada putrinya. Sang ayah mengatakan kepada putrinya bahwa ia beruntung dibandingkan perempuanperempuan Quraisy, namun mereka lebih pandai memakai wewangian.
Maka itu, ia mengatakan kepada Nailah untuk menjaga dua hal, yaitu supaya menggunakan celak dan wangiwangian. Meski mendorong perempuan berdandan karena memang disyariatkan, Ummu Habibah menegaskan bukan berarti para perempuan berlama-lama di depan cermin. Lalu, mereka meninggalkan ibadah dengan alasan fokus berdandan untuk sang suami. Semuanya mesti dilakukan secara proporsional, tidak berlebih-lebih an dan masih dalam koridor syariat yang dibenarkan. Misalnya, berpakaian secara syari dan tak mencukur alis.
Baca Juga: Tantangan Kemerdekaan
Abd al-Qadir Manshur mengatakan, berdandan diperbolehkan bagi perempuan guna menjaga kodratnya sebagai perempuan. Mereka diizinkan melubangi te linganya untuk memakai anting-anting.
Para ahli fikih sepakat tak mengapa perempuan dewasa atau bayi perempuan dilubangi telinganya untuk keperluan itu. Praktik ini, kata dia dalam bukunya, Buku Pintar Fikih Wanita, dilakukan para sahabat tanpa ada larangan dari Nabi Muhammad SAW. Ibnu Qayyim menjelaskan, perempuan perlu berdandan dan melubangi telinganya karena suatu kemaslahatan dan merupakan hak baginya.
Tak mengapa para perempuan berdandan dengan mengenakan emas dan pakaian dari sutra. Menurut Ibnu Qudamah, untuk tampil cantik di hadapan suaminya, seorang perempuan diizin kan memakai perhiasaan, memacari kedua tangannya, dan sebagainya.
Berdandan bukanlah monopoli perempuan. Menurut Sayyid Sabiq melalui karyanya, Fiqh Sunnah, menganjurkan suami pun berdandan untuk istrinya. Ia mengutip pernyataan Ibnu Abbas, yang berdandan untuk istrinya sebagaimana istrinya melakukan hal serupa untuknya sebagai suami.
Ibnu Abbas bersandar pada pernyataan Allah SWT, “Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.” Mengenai pernyataan Ibnu Abbas ini, Qurthubi menjelaskan cara berdandan laki-laki tentu disesuaikan dengan keadaan mereka.
Dia menyatakan, minyak wangi, sikat gigi, sisir, membersihkan kotoran di badan, memotong rambut yang sudah panjang, bersuci, dan memotong kuku, sesuai dengan semua kalangan.