REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Syekh Mohammed Khalifa membuat kejutan. Pemimpin Muslim Kenya itu mengusulkan agar hukum atau syariat Islam diterapkan dalam menangani kasus homoseksual. Menurut dia, kaum homo dan mereka yang melakukan pelecehan seksual terhadap anak harus dihukum mati.
“Kematian adalah hukuman yang hanya diberikan oleh Islam untuk orang-orang yang seperti itu. Hukuman ini sudah dilakukan di Cina dan Iran,” ujar Sekretaris Dewan Imam dan Khotib Kenya itu seperti dikutip surat kabar Daily Nation Kenya. Pihaknya mendesak Pemerintah Kenya mempertimbangkan hukuman tersebut guna kejahatan yang tidak manusiawi itu.
Pernyataan Syekh Mohammed Khalifa itu langsung menyebar ke berbagai penjuru dunia. Pihaknya juga menuntut agar Pemerintah Kenya bertindak keras terhadap lembaga yang memperjuangkan hakhak kaum gay dan lesbian di negaranya.
Republik Kenya adalah sebuah negara di Afrika Timur. Di sebelah utara, negara itu berbatasan dengan Ethiopia. Di bagian timur bertetangga dengan Somalia. Di sebelah Selatan berdekatan dengan Tanzania. Di ujung barat berdempetan dengan Uganda, di barat laut merapat dengan Sudan dan di tenggara terhubung dengan Samudera Hindia.
Menurut data pada Badan Intelijen Amerika (CIA) Kenya adalah rumah bagi 3,9 juta Muslim atau 10 persen dari total populasi yang mencapai 39 juta jiwa. Namun, pemimpin Muslim di negeri itu meyakini total populasi Muslim mencapai 10 juta jiwa. Populasi Muslim memang sangat sulit untuk dihitung secara akurat, karena banyak dari mereka yang hidup nomaden di wilayah utara dan timur Kenya.
“Banyak pula yang menetap di wilayah kering di perbatasan Ethiopia dan Somalia, merasa sangat terisolasi,” ujar Mohamed Ali, wakil kepala sekolah di Kota Mandera, Kenya. Sebagian besar Muslim Kenya menetap di kawasan pesisir. Mayoritas umat islam di negara itu menganut mazhab Sunni, namun ada pula yang bermazhab Syiah.
Sejarah hukum Islam di Kenya
Islam telah tiba di Kenya sejak abad ke-8 M. Tak heran jika selama berabad-abad, kaum Muslim berkembang di pesisir pantai timur Afrika dengan hukum Islam. Namun, invasi Portugis telah membuat pengaruh Islam di negara itu meredup. Islam kembali bangkit 200 tahun kemudian, setelah Portugis berhasil diusir dari Kenya.
Kepentingan Inggris terhadap daerah Afrika bagian timur dimulai pada akhir abad ke-19, ketika mereka mendirikan perusahaan Kerajaan Inggris Afrika Timur. Mereka menemukan sistem peradilan Islam berlaku dan dijalankan di Kenya. Pada 1895, Sultan Zanzibar tak keberatan dan menyetujui Inggris mengelola jalur sepanjang pantai sebagai protekorat, bukan sebagai koloni.
Hal itu berbeda dengan daerah di daratan yang menjadi koloni. Sultan Zanzibar meminta Inggris menghargai sistem peradilan Islam yang berada di daerah tersebut. Meskipun Inggris menghormatinya, sistem peradilan Islam perlahan-lahan menghilang. Yang tinggal hanyalah undang-undang mengenai pribadi, seperti pernikahan, perceraian, dan warisan.
Hukum-hukum itu diterapkan oleh Pengadilan Liwali, Mudir, dan Qadi. Kebijakan yang hanya mengatur mengenai undang-undang pribadi ini juga dilakukan di beberapa wilayah Muslim, seperti Nigeria Utara dan India yang juga berada di bawah kekuasaan Inggris.
Kepala Qadi atau hakim diangkat untuk menjadi pemimpin sistem peradilan Islam. Ia menjadi pegawai negeri yang ditunjuk oleh administrator kolonial seperti halnya petugas yudisial lain. Kantor Kepala Qadi Kenya berlokasi di Kota Mombasa, kota kedua terbesar di negara tersebut. Salah seorang kepala Qadi yang terkenal adalah Syekh Muhammad bin al-Farsy.
Ia terkenal karena karyanya yang monumental, yaitu Qura’aini Takatifu, yaitu terjemahan Alquran ke bahasa Swahili. Setelah Kenya meraih kemerdekaan, Pengadilan Qadi didirikan dan Kepala qadi sebagai hakim. Kepala qadi dipilih oleh Komisi Yudisial. Mereka ditempatkan di provinsi-provinsi yang terletak di pesisir pantai dan timur laut, yang mayoritas penduduknya adalah Muslim.
Kini, ada 14 qadi di Kenya. Mereka ditempatkan di beberapa daerah, antara lain, Mombasa, Nairobi, Kisumu, Nakuru, Mandera, dan Kwale. Namun, jumlah ini masih belum memadai karena ternyata umat Islam dijumpai di hampir seluruh wilayah.
Pada 1981, pemerintah mengusulkan untuk menggabungkan hukum. Gagasan itu ditolak oleh masyarakat Muslim karena dianggap menjauhkan diri dari hukum mereka. Adalah Syekh Abdallah Farsy menjadi orang yang memimpin masyarakat yang memprotes hukum baru tersebut. Pemerintah Kenya pun membatalkan niatnya untuk menggabungkan hukum.
Pada 2005, Pemerintah Kenya kembali mengusulkan sebuah proposal untuk membuat sebuah konstitusi baru. Meskipun masyarakat Muslim memiliki hak partisipasi dalam seluruh prosesnya, mereka tidak menyukai ketentuan yang terdapat pada aturan baru itu, karena melemahkan Pengadilan Qadi.
Kalangan non-Muslim gencar berkampanye untuk menghapuskan pengadilan Islam itu. Kaum Muslim memutuskan untuk menentang hukum yang diusulkan. Umat Islam bergabung dalam Kampanye Oranye untuk menentang rancangan konstitusi yang melemahkan syariat Islam itu. Mereka tetap mendamba hukum Islam tetap ditegakkan.