REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Stephane Dujarric mengatakan gelombang pengungsi Rohingya dari negara bagian Rakhine, Myanmar, ke Bangladesh masih terus berlangsung. Ia mengatakan hal itu disebabkan masih terjadinya aksi kekerasan di Rakhine.
"Kami terus menerima laporan kekerasan, lebih dari 11 ribu pengungsi baru tiba di Bangladesh antara Januari dan Juni tahun ini," ujar Dujarric, dalam sebuah konferensi pers pada Kamis (23/8), dikutip laman Anadolu Agency.
Ia menyerukan Myanmar agar membuka akses bagi organisasi kemanusiaan yang hendak menyalurkan bantuan ke nagara bagian Rakhine. Ia mengatakan, masih banyak komunitas masyarakat di sana yang membutuhkan bantuan.
Dujarric mengungkapkan, akses untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan ke Rakhine, terutama di Rakhine utara, masih sangat terbatas. "Kemajuan substanisal sangat dibutuhkan dalam memberikan akses yang efektif untuk organisasi bantuan dan mengatasi akar penyebab krisis, termasuk kebebasan bergerak, keamanan, dan jalur kewarganegaraan bagi semua komunitas," katanya.
Ia mengatakan terdapat sekitar 660 ribu orang yang membutuhkan bantuan di Rakhine. Namun, sebagian besar organisasi kemanusiaan yang telah bekerja di sana selama bertahun-tahun masih belum dapat melanjutkan program dan layanannya. Pembatasan akses merupakan hambatan utamanya.
Krisis Rohingya telah berlangsung selama satu tahun. Kendati demikian, belum ada tanda-tanda bahwa krisis itu akan segera berakhir.
Sejak Agustus 2017, lebih dari setengah juta etnis Rohingya melarikan diri dari Rakhine ke Bangladesh. Mereka kabur guna menghindari kebrutalan militer Myammar yang menggelar operasi pemburuan terhadap gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army. Dalam operasinya, militer Myanmar turut menyerang dan menumpas warga sipil di daerah tersebut.
Pada November 2017, Myanmar dan Bangladesh telah menyepakati proses repatriasi pengungsi dan pembentukan tim Joint Wroking Group. Namun pelaksanaan kesepakatan tersebut belum optimal. Cukup banyak pengungsi Rohingya di Bangladesh yang enggan kembali ke Rakhine.
Mereka mengaku masih trauma atas kejadian yang menimpanya pada Agustus tahun lalu. Selain itu, kesepakatan repatriasi pun tak menyinggung perihal jaminan keamanan dan keselamatan bagi warga Rohingya yang kembali.