REPUBLIKA.CO.ID, TANJUNGBALAI -- Kota Tanjungbalai, Provinsi Sumatra Utara relatif aman pascaputusan hukum terhadap Meiliana. Perempuan berusia 44 tahun itu terbukti melanggar Pasal 156 KUHP tentang penghinaan terhadap suatu golongan dalam perkara penodaan agama yang memicu kerusuhan bernuansa suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) dua tahun lalu.
"Hingga saat ini semua pihak baik itu kalangan umat Islam mau pun Buddha di Kota Tanjungbalai hidup rukun dan damai serta saling menghormati antarsesama," ungkap Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kota Tanjungbalai Usni Syahzuddin, di Tanjungbalai, Jumat.
Usni berharap kondusivitas itu terus terjaga dan tidak ada yang mempolitisir putusan itu. Menurutnya, pascakerusuhan pada tahun 2016 terkait dugaan penghinaan agama yang dituduhkan kepada Meiliana, secara sosial, ekonomi dan keamanan Tanjungbalai juga dalam keadaan baik-baik saja tanpa adanya pertentangan, termasuk secara SARA.
"Hal ini membuktikan bahwa semua elemen masyarakat Tanjungbalai telah melupakan peristiwa kerusuhan 29 Juli dua tahun lalu," katanya.
Usni menilai kontroversi yang muncul terkait putusan Meiliana tersebut sebagai upaya untuk memperkeruh suasana. Ia meminta semua kalangan menahan diri dan tetap memandang persoalan tersebut sebagai sebuah proses dan konsekuensi hukum yang harus diterima dengan lapang dada.
Dia juga menyayangkan sikap banyak pihak yang merasa keberatan atas putusan tersebut sebagaimana disampaikan melalui media sosial. Apalagi, komentar itu datang orang luar yang tidak memahami kondisi Tanjungbalai pascakerusuhan.
Berdasarkan hasil penelusuran pihaknya, dari sekitar 15 ribu tanggapan di media sosial yang tidak terima terhadap putusan Meiliana itu, 85 persen muncul dari orang luar daerah.
Tokoh masyarakat etnis Tionghoa Kota Tanjungbalai Leo Lopulisa mengatakan, hukum sudah berjalan dan ditegakkan. Apapun hasilnya wajib dihormati tanpa harus dipolitisasi karena bisa menimbulkan persoalan baru dan berpotensi mengganggu kondusivitas daerah.
"Adil atau tidak saya tidak bisa komentari. Pastinya proses hukum sudah dijalankan dan hasilnya wajib kita terima. Demi kondusivitas Kota Tanjungbalai, diharapkan semua pihak tidak menunggangi putusan hukum tersebut," kata Leo seperti dikutip kantor berita Antara, Jumat (24/8).
Sementara itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku tak akan mengintervensi keputusan Pengadilan Negeri di Tanjungbalai, Sumatra Utara terhadap Meiliana terkait keluhan suara azan. Menurut Jokowi, Meiliana masih bisa mengajukan banding. "Ya itu kan ada proses banding," ujarnya.
Kasus Meiliana bermula pada 29 Juli 2016 ketika dia menyampaikan keluhan kepada tetangganya, Uo, atas terlalu besarnya volume pengeras suara masjid di depan rumah. Uo kemudian menyampaikan keluhan Meiliana tersebut kepada adiknya, Hermayanti.
Namun, ungkapan yang disampaikan Uo ke Hermayanti menyinggung ras Meiliana yang merupakan warga keturunan Tionghoa dan beragama Buddha. Ucapan yang menyebut ras Meiliana itu juga disampaikan Hermayanti kepada Kasidi, ayah Uo dan Hermayanti, yang merupakan pengurus masjid setempat.
Kasidi pun menyampaikan keluhan tersebut kepada sejumlah pengurus masjid. Akibatnya, terjadi konflik antara para pengurus masjid dan Meiliana hingga berimbas pada perusakan rumah tinggal Meiliana dan vihara setempat. Meiliana pun dilaporkan ke polisi dan ditetapkan sebagai tersangka atas kasus penistaan agama.
Meiliana divonis bersalah dan dijatuhi hukuman satu tahun enam bulan penjara atas perbuatannya. Hukuman ini dijatuhkan dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Medan, Selasa (21/8).
Meiliana dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama di Indonesia. "Menjatuhkan kepada terdakwa pidana penjara selama satu tahun enam bulan dikurangi masa tahanan," kata Hakim Ketua Wahyu Prasetyo Wibowo.