REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Sekitar 180 sampai 200 ton ikan mas dan nila dalam keramba jaring apung (KJA) di Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir, Sumatra Utara ditemukan mati, Rabu (22/8). Tim Perikanan dan Kelautan setempat memprediksi kualitas air yang buruk sebagai penyebab kematian ikan-ikan tersebut.
"Tim Dinas Perikanan dan Kelautan Sumut, Samosir dan Karantina Pusat dari Kemenerian Perikanan dan Kelautan masih terus mendalami penyebab kematian ikan secara mendadak itu," kata Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Sumut Mulyadi Simatupang di Medan, Jumat.
Menurut dia, tim masih terus mencaritahu penyebab kematian ikan dalam KJA itu meski hasil sementara ditemukan dampak kualitas air yang buruk. Tim sudah mengambil contoh air dari KJA untuk diperiksa di laboratorium.
Mulyadi menjelaskan, berdasarkan pengamatan visual di daerah Pangururan, warna air terlihat kecoklatan dan keruh. Kualitas air yang buruk itu antara lain disebabkan oleh puncak musim kemarau dan angin yang kencang.
Kondisi ini membuat bahan organik didasar perairan khususnya di sekitar KJA naik ke atas perairan (up-welling) sehingga kandungan oksigen di perairan tersebut sangat rendah. "Kualitas air yang buruk juga dipicu letak KJA yang belum mengikuti cara budidaya ikan yang baik (CBIB) seperti ke dalaman perairan, padat tebar, dan jarak antar unit KJA," katanya.
Dari hasil pemeriksaan Dinas Lingkungan Hidup Pemkab Samosir, kadar oksigen dalam air (Dissolved Oxygen atau DO) Danau Toba berkisar 2,28 Mg/L. Kondisi itu jauh di bawah standar mutu air yang ditetapkan pemerintah berdasarkan PP 82/2001, yakni minimal 6,0 Mg/L.
Sebanyak 18 orang petambak mengalami kerugian sekitar Rp5 miliar hingga Rp6 miliar akibat kejadian tersebut. Bersama masyarakat, tim juga terus mencoba menanggulangi dampak kematian ikan di KJA itu. Bau busuk bangkai ikan menyeruak dari danau.