REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menargetkan capaian Program Satu Juta Rumah tahun ini lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya. Pada 2015, capaian program satu juta rumah sebanyak 669.770 unit, pada 2016 sebanyak 805.169 unit, dan 2017 sebanyak 904.758 unit.
“Untuk 2018, per 20 Agustus 2018 program satu juta rumah sudah mencapai 582.638 unit. Kami optimis karena masih punya waktu sekitar 4,5 bulan, insyaallah di akhir tahun mencapai satu juta rumah dengan proporsi 60-70 persen rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR),” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Penyediaan Perumahan Khalawi Abdul Hamid pada jumpa pers Hari Perumahan Nasional (Hapernas) 2018 bersama Dirjen Pembiayaan Perumahan Lana Winayanti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id.
Program Satu Juta Rumah merupakan gerakan bersama oleh seluruh pemangku kepentingan bidang perumahan baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Pengembang Perumahan, Perbankan, Perusahaan Swasta dan masyarakat untuk mengatasi backlog perumahan di Indonesia.
Dirjen Pembiayaan Perumahan Lana Winayanti mengatakan, jumlah backlog perumahan berdasarkan konsep penghunian sebanyak 7,6 juta unit pada 2015 yang ditargetkan turun menjadi 5,4 juta unit pada 2019. Sementara backlog perumahan berdasarkan konsep kepemilikan rumah sebanyak 11,4 juta unit pada 2015 yang ditargetkan turun menjadi 6,8 juta unit di 2019.
Untuk meningkatkan jumlah pasokan rumah layak huni terutama yang terjangkau MBR, ada empat tantangan yang dihadapi yakni pertama, tingkat keterjangkauan (affordability) MBR masih rendah baik membeli rumah dari pengembang, membangun secara swadaya maupun meningkatkan kualitas rumah yang tidak layak huni.
Kedua, ketersediaan dana (availability) dimana pola/skema pembiayaan perumahan bagi MBR terbatas, ketiga akses MBR (accessibility) ke sumber pembiayaan perumahan (lembaga keuangan) untuk mendapat kredit pemilikan rumah (KPR) masih terbatas dan terakhir sumber dana (sustainability) pembiayaan perumahan masih bersifat jangka pendek sehingga tidak dapat berkelanjutan untuk KPR yang bersifat jangka panjang (maturity mismatch).
“MBR sebenarnya memiliki daya beli, namun mengalami kesulitan akses, oleh karena itu Pemerintah menggulirkan sejumlah program untuk memfasilitasi pembiayaan rumah bersubsidi,” ujar Lana.
Program pembiayaan perumahan yang sudah berjalan seperti KPR Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), Subsidi Selisih Bunga Kredit Perumahan (SSB), Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM) dan Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT).
Sementara itu Dirjen Penyediaan Perumahan Khalawi AH menambahkan, tantangan pembangunan rumah MBR yakni terbatasnya lahan murah khususnya di kota metropolitan. Kementerian PUPR tengah mendorong terbentuknya Land Banking System dan konsepnya yang sedang dikaji oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR).
Khalawi juga mengatakan Pemerintah tengah membahas perubahan regulasi mengenai hunian berimbang antara rumah menengah atas dan MBR yang harus dibangun pengembang untuk dapat mempercepat program satu juta rumah.
Ia menambahkan, Kementerian PUPR juga membangun rumah MBR di seluruh Indonesia seperti Rumah Susun (Rusun), Rumah Khusus (Rusus), Bantuan Stimulan Rumah Swadaya dan bantuan prasarana sarana dan utilitas (PSU) kepada pengembang yang membangun perumahan bersubsidi.
“Untuk program Rusus tahun ini, lebih banyak dibangun di Indonesia wilayah timur yakni 60 persen dan 40 persen di wilayah barat. Beberapa lokasi Rusus yang saya kunjungi, penerima manfaat mengutarakan bahwa adanya program Rusus, rumah yang mereka tempati menjadi lebih sehat, anak-anak bermain jadi enak. Program ini sangat diharapkan oleh masyarakat kita yang jauh di kampung-kampung,” tutur Khalawi.