Ahad 26 Aug 2018 21:01 WIB

Krisis Rohingya, AS Minta Pertanggungjawaban Militer Myanmar

Krisis Rohingya memasuki usia satu tahun.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Ani Nursalikah
Pengungsi Rohingya Myanmar.
Foto: Antara/Rahmad
Pengungsi Rohingya Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo mengatakan negaranya akan terus meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab atas pembersihan etnis Rohingya di Rakhine, Myanmar. Hal tersebut ia katakan dalam rangka memperingati satu tahun krisis Rohingya.

Pompeo mengatakan, pada Agustus 2017, militer Myanmar menggelar operasi brutal ke Rakhine sebagai respons atas serangan yang dilakukan gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). “Setahun lalu, menyusul seranngan milisi yang mematikan, pasukan keamanan menanggapi dengan meluncurkan pembersihan etnik yang kejam terhadap #Rohingya di Burma,” ujar Pompeo melalui akun Twitter pribadinya pada Sabtu (25/8). 

“AS akan terus meminta pertanggungjawaban yang bertanggung jawab. Militer harus menghormati hak asasi manusia (HAM) agar demokrasi untuk #Burma (Myanmar) berhasil,” kata Pompeo.

Awal bulan ini, AS kembali memberlakukan sanksi terhadap empat komandan militer dan polisi Myanmar serta dua kesatuan tentara. Mereka dituding terlibat pembersihan etnis terhadap Muslim Rohingya dan pelanggaran HAM yang meluas di negara tersebut.

Sementara itu, para pengungsi Rohingya di Bangladesh menggelar demonstrasi dan doa bersama guna memperingati krisis dan penderitaan yang mereka alami. Banyak di antara mereka yang mengenakan pita hitam sebagai simbol atas terjadinya genosida Rohingya.

Sebelumnya juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Stephane Dujarric mengatakan gelombang pengungsi Rohingya dari Rakhine ke Bangladesh masih terus berlangsung. Ia mengatakan hal itu disebabkan masih terjadinya aksi kekerasan di Rakhine.

"Kami terus menerima laporan kekerasan, lebih dari 11 ribu pengungsi baru tiba di Bangladesh antara Januari dan Juni tahun ini," ujar Dujarric, dalam sebuah konferensi pers pada Kamis pekan lalu, dikutip laman Anadolu Agency.

Ia menyerukan Myanmar agar membuka akses bagi organisiasi kemanusiaan yang hendak menyalurkan bantuan ke nagara bagian Rakhine. Ia mengatakan, masih banyak komunitas masyarakat di sana yang membutuhkan bantuan.

Sejak Agustus 2017, lebih dari setengah juta etnis Rohingya melarikan diri dari Rakhine ke Bangladesh. Mereka kabur guna menghindari kebrutalan militer Myammar yang menggelar operasi pemburuan terhadap gerilyawan ARSA. Dalam operasinya, militer Myanmar turut menyerang dan menumpas warga sipil di daerah tersebut.

Pada November 2017, Myanmar dan Bangladesh telah menyepakati proses repatriasi pengungsi dan pembentukan tim Joint Wroking Group. Namun pelaksanaan kesepakatan ini belum optimal. Cukup banyak pengungsi Rohingya di Bangladesh yang enggan kembali ke Rakhine.

Mereka mengaku masih trauma atas kejadian yang menimpanya pada Agustus tahun lalu. Selain itu, kesepakatan repatriasi pun tak menyinggung perihal jaminan keamanan dan keselamatan bagi warga Rohingya yang kembali.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement